Pendahuluan
Perubahan paradigma pemerintahan pada dewasa ini terutama dalam hal penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan yang berpandangan pada konsep dan teori reinventing government (David Osborne dan Ted Gabler, 1992) dan banishing beaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1997) memungkinkan adanya kreativitas dan inovasi dalam kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan aset-aset nasional dan daerah. Perusahaan-perusahaan nasional maupun daerah diarahkan menuju efisiensi, profesionalitas, berdaya saing tinggi, bertaraf internasional, dan profit oriented.
Upaya menuju ke arah proses tersebut sudah bukan merupakan wacana lagi, tetapi sudah digulirkan oleh pemerintahan saat ini. Alasan yang mendasari tentu adalah perubahan kondisi perekonomian saat ini yang masih belum juga beranjak dari kondisi keterpurukan Indonesia dalam bidang perekonomian di dunia internasional. Salah satu kebijakan dalam upaya menuju ke arah proses perubahan sektor perekonomian tersebut adalah kebijakan privatisasi.
Pemahaman sejarah dan alasan ekonomi privatisasi diperlukan untuk membangun persepsi yang sama antarstakeholders dalam proses pembangunan. Hal tersebut berguna untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti dan tujuan privatisasi. Hubungannya dengan pembangunan, privatisasi dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan nasional Meningkatnya pendapatan nasional dan daerah, serta kesejahteraan masyarakat akan bertumpu pada keberhasilan program kebijakan privatisasi yang tentu saja bukan program privatisasi yang penting untung sesaat dengan menjual aset-aset negara.
Sejarah Privatisasi
Di tahun 90-an privatisasi mulai dikenal sebagai elemen fundamental perekonomian konservatif global, dimana di seluruh negara, dari negara maju sampai ke negara sedang berkembang mengembangkan kebijakan ini (Bortolotti, Bernardo / Siniscalco, Domenico, 2004). Namun demikian, alasan penerapan kebijakan privatisasi di setiap negara berbeda-beda. Misalnya, Inggris menerapkan privatisasi bagi perusahaan milik negara agar hak-hak konsumen (baca: masyarakat) lebih terlindungi, setelah selama ini hak mereka terbatas karena adanya monopoli oleh negara. Di Jepang privatisasi perusahaan negara ditujukan untuk mengembangkan industri dalam negeri (Budhijanto, Danrivanto, 2004). Sedangkan alasan privatisasi di negara sedang berkembang biasanya sangatlah sederhana, yakni untuk menutup kekosongan kas negara atau mengurangi defisit anggaran belanja negara. Privatisasi di Indonesia penyebab utama lemahnya kinerja BUMN adalah intervensi dari elit kekuasaan, politik, dan birokrat yang membuat tata kelola BUMN tidak sesuai dengan tata kelola korporasi yang semestinya, jadi bukan kepemilikan negara yang menjadi masalah, tapi justru pengelolanya (Amien Rais, 2008).
Kata privatisasi sampai pertengahan tahun 80-an belum dikenal dalam kamus. Pada awalnya kata „denasionalisasi“ dipergunakan untuk menyebut proses penjualan perusahaan milik negara kepada swasta (Bortolotti, Bernardo / Siniscalco, Domenico, 2004).
Sampai sekarang masih terdapat perbedaan definisi tentang privatisasi. Menurut Peacock (1930), privatisasi adalah pengalihan hak milik industri negara kepada swasta. Dunleavy (1980) mendefinisikannya sebagai pengalihan secara permanen produksi barang dan jasa yang semula dilaksanakan oleh perusahaan milik negara kepada swasta. Sedangkan Company Act (1980) memberi definisi privatisasi sebagai penjualan saham negara sebesar minimal 50% kepada swasta (Pandu Patriadi, 2003). Karenanya privatisasi dapat didefinisikan sebagai pengalihan (baik sebagian maupun sepenuhnya) pemenuhan tugas-tugas pemerintah kepada swasta.
Meskipun istilah privatisasi baru ditemukan dalam literatur ekonomi modern, tetapi sesungguhnya Adam Smith, Bapak Perekonomian Dunia, sudah mengamati perbedaan antara perusahaan milik negara dan swasta, khususnya dalam hal manajemen sumber daya. Menurutnya, manajemen negara cenderung memanfaatkan sumber daya secara tidak efisien, karena para pegawai negara tidak mempunyai kepentingan langsung untuk mengelola sumber daya seefisien mungkin (Bortolotti, Bernardo / Siniscalco, Domenico, 2004). Hal ini berlainan dengan perusahaan swasta yang sangat memperhatikan efisiensi dalam penggunaan sumber daya, agar dapat meraih keuntungan yang maksimal. Karenanya, menurut Smith penjualan perusahaan milik negara kepada swasta harus meningkatkan efisiensi, dan selanjutnya hasil penjualan tersebut dapat mengurangi defisit anggaran belanja Negara (Bortolotti, Bernardo / Siniscalco, Domenico, 2004).
Lebih lanjut privatisasi juga berarti suatu proses depolitisasi perekonomian dan pengurangan intervensi negara di bidang ekonomi, karena melalui proses privatisasi maka kepentingan pemerintah dalam manajemen perusahaan milik negara menjadi berkurang.
Alasan Ekonomi Privatisasi
Pembentukan perusahaan negara pada dasarnya memiliki dua tujuan, yakni tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Secara ekonomi perusahaan negara bertujuan untuk menjamin sektor-sektor strategis agar tidak jatuh ke tangan yang salah sehingga akan merugikan kepentingan masyarakat (Purwoko, 2002). Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat, yakni dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah (murah, selalu tersedia, tanpa adanya manipulasi harga, dan sebagainya). Sudah barang tentu, pendapatan bagi negara juga merupakan tujuan ekonomis suatu perusahaan negara. Sebagai tujuan sosial, keberadaan perusahaan negara berarti membuka peluang kerja bagi masyarakat.
Dalam prakteknya, dari waktu ke waktu perusahaan negara menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan pembentukannya. Tekanan terhadap kas negara memaksa pemerintah untuk berpikir ulang mengenai eksistensi perusahaan milik negara. Inefisiensi manajemen perusahaan negara sudah sangat dikenal secara luas, sehingga akhirnya memberatkan anggaran negara. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar, mengapa negara ingin melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara atau tugas-tugasnya. Sedangkan di negara sedang berkembang dan belum berkembang, privatisasi sangat sering menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Purwoko, 2002).
Sedangkan menurut Hamer und Gebhardt ada empat alasan yang mendorong pemerintah melakukan privatisasi, yakni meliputi meningkatkan daya saing, alasan keuangan, rasionalisasi dan alasan tidak langsung (Hamer, Eberhard / Gebhardt, Rainer, 1992).
Dengan privatisasi, berarti perusahaan negara dan swasta akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersaing. Hak istimewa yang diperoleh perusahaan negara selama ini melalui privatisasi akan hilang dengan sendirinya. Alhasil setiap perusahaan yang ada mempunyai kesempatan yang sama untuk berebut pasar.
Tekanan terhadap kas negara merupakan alasan ekonomis. Namun demikian, pemerintah dalam melakukan proses privatisasi harus tetap memperhatikan bahwa pelaksanaan privatisasi tidak mengakibatkan meningkatkan biaya yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pemerintah. Privatisasi juga merupakan jawaban yang tepat apabila suatu perusahaan negara tidak efisien dan selalu mengalami mis-management.
Rasionalisasi juga sering disebut sebagai alasan dilakukannya privatisasi. Secara otomatis privatisasi akan mengakibatkan rasionalisasi personal. Dengan menurunnya biaya personal, berarti pemerintah akan lebih bisa berkonsentrasi terhadap tugas-tugas lainnya yang lebih penting bagi masyarakat. Asumsi dari alasan ini adalah bahwa pengelolaan oleh perusahaan swasta akan lebih efisien dibandingkan oleh perusahaan negara.
Sebagai alasan ekonomis tidak langsung, hal ini berkaitan dengan perilaku aparat pemerintah. Hamer menyebutnya sebagai perilaku yang menyimpang dari aparat pemerintah dan rendahnya kesadaran tentang pentingnya menekan „biaya“ di kalangan aparat pemerintah (Hamer, Eberhard / Gebhardt, Rainer, 1992). Misalnya, penggunaan peralatan kantor untuk keperluan pribadi atau penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga yang masih ada hubungan keluarga, atau politisasi perusahaan negara dan sebagainya. Dalam suatu perusahaan negara, penyimpangan seperti ini sulit untuk dibuktikan, lain halnya dengan di perusahaan swasta. Karenanya, dengan privatisasi penyimpangan ini dapat diminimalisasikan.
Penutup
Sejarah privatisasi mempengaruhi alasan ekonomi suatu negara melakukan kebijakan privatisasi. Negara berkembang seperti Indonesia turut mengadopsi agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi. Persepsi alasan yang berbeda membawa dampak hilangnya kekuasaan pengelolaan aset-aset bangsa yang sebetulnya masih bisa dikelola secara lebih profesional dan membiarkan perusahaan nasional berkembang secara kompetitif serta lepas dari pengaruh intervensi kekuasaan dan politik. Alasan yang berkembang karena tuntutan untuk memperbaiki defisit anggaran negara yang diakibatkan krisis ekonomi, serta desakan negara-negara kreditor (terutama G-7) dan Internasional Financial Institutiona (IFIs) seperti IMF dan Bank Dunia perlahan-lahan mulai mendesakkan agenda privatisasi kepada negara-negara miskin seperti Indonesia, jika ingin memperoleh hutang dari mereka (Amien Rais, 2008). Pada akhirnya penyimpangan privatisasi terhadap aset-aset negara baik pusat maupun daerah mungkin sekali dapat terjadi, dengan berbagai kepentingan, dalih, dan persepsi terhadap aturan-aturan yang ada. Oleh karena itu kebijakan privatisasi perlu dikontrol dengan mengedepankan prinsip dasar filosofi Bangsa Indonesia yang tertera jelas dalam Pancasila, guna mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, bermartabat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Bortolotti, Bernardo / Siniscalco, Domenico: The Challenges of Privatization, An International Analysis, Oxford, 2004.
Budhijanto, Danrivanto: „Quo Vadis Kompetisi SLI”, dalam Kompas, 11 Agustus 2004.
Hamer, Eberhard / Gebhardt, Rainer: Privatisierungspraxis. Hilfe zur Umstellung von Staats- auf Privatwirtschaft (Praktek Privatisasi. Bantuan untuk Merubah dari Perekonomian Negara Menuju Perekonomian Swasta), Essen, 1992.
Patriadi, Pandu: „Studi Banding Kebijakan Privatisasi BUMN di Beberapa Negara“, dalam Analisa Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7. No. 4, Des. 2003, Departemen Keuangan RI, Jakarta.
Purwoko: „Model Privatisasi BUMN yang mendatangkan manfaat bagi Pemerintah dan Masyarakat Indonesia“, dalam Analisa Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6. No. 1, Maret 2002, Departemen Keuangan RI, Jakarta.
Rais, Amien: ,,Selamatkan Indonesia”, PPSK Press, 2008.
Santosa, Setyanto P.: Quo Vadis Privatisasi BUMN, www.pacific.net.id/pakar/setyanto/tulisan_02.html, dibaca pada 10 Nov. 2006
By: Wuryani, Totok Suharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar