Rabu, 20 Januari 2010

TRADISI PEMBUATAN KUE “MOCHI” DI NAGASAKI, JEPANG

Awal Desember 2008 saat Musim Dingin ada suatu pengalaman yang menarik pada waktu penulis mengikuti diklat di Jepang, yaitu tentang pembuatan kue mochi di Pulau Ikeshima, Nagasaki, Jepang. Di tengah majunya peradaban modern Bangsa Jepang, ternyata masih ada tradisi kerjasama yang sangat kuat antarpenduduk di daerah tersebut, yaitu pembuatan kue mochi atau kalau di Indonesia seperti kue ketan tapi sudah ditumbuk dengan halus, atau orang jawa mengenal dengan kue “jadah”. Kue tersebut bisa dibuat manis atau tanpa rasa. Untuk kue mochi yang tanpa rasa biasanya dimakan dengan sup, setelah kue tersebut dibuat bulatan lonjong kecil-kecil. Mochi yang dimaksud di sini, merupakan mochi polos tanpa bumbu garam atau lainnya, dan dimakan (sebagai pengganti nasi) bersama sayur yang biasa disebut zouni. Jadi mirip ketupat tetapi dari ketan kalau di tempat kita. Kanji zouni sendiri berarti "rebusan campur-campur". Menurut Wikipedia, zouni dulunya merupakan hidangan kaum samurai (prajurit) terutama saat pergi berperang. Mochi digunakan karena ia merupakan penganan yang awet. Kalau yang manis pada waktu pembuatannya dibuat dengan cara mencampurkan ubi ketela manis (di jawa dikenal dengan nama ketela pendam).
Seluruh masyarakat yang ada di sekitar daerah ini terlibat, membuat bersama kue mochi ini. Mulai dari anak sekolah, guru-guru, kaum muda, dan tua terlibat bersama bergotong royong menyambut datangnya musim dingin. Mereka berpartisipasi dalam acara mochitsuki taikai. Mochitsuki taikai mempunyai pengertian "menumbuk mochi". Acara mochitsuki taikai ini merupakan tradisi yang biasa dilakukan dalam menyambut tahun baru. Hal ini juga karena mochi biasa dihidangkan pada tahun baru.
Awal acara dimulai dengan memasak ketan terlebih dahulu, sambil menunggu ketan selesai dimasak, anak-anak SD, orang tua murid, warga setempat, dan peserta diklat (kenshusei) melaksanakan kampanye kebersihan (clean campaign), yaitu acara bersih-bersih lingkungan. Peserta clean campaign diminta pergi berkeliling di sekitar lokasi apartemen, permukiman umum, perkantoran, dan areal sekolah mengumpulkan sampah yang berceceran di lingkungan sekitar. Ada sampah plastik, daun-daun kering, kaleng, botol plastik, dan sampah lainnya. Sampah-sampah ini dikumpulkan, dipilah-pilah menurut jenisnya, baru dimasukkan ke tempat kotak sampah. Ada enam kotak sampah yang masing-masing ada tulisan khusus sampah apa yang boleh dimasukkan ke dalamnya, yaitu sampah plastik, botol plastik, botol kaca, kaleng, sampah tidak terbakar, dan sampah terbakar. Setelah sampah penuh akan dibuang oleh petugas kebersihan pada setiap hari Senin. Setelah lingkungan terlihat bersih dan rapi, kemudian baru dilanjutkan acara utama yaitu menumbuk mochi dimulai.
Tradisi budaya ini menunjukkan ternyata masih ada kebersamaan yang tercermin dalam semangat kegotongroyongan yang tinggi. Tahap awal persiapan yaitu menyediakan tungku pemasak yang bahan bakarnya ternyata masih memanfaatkan potongan-potongan kayu kering yang tersimpan secara rapi dan teratur. Tiga buah tungku dipersiapkan untuk acara ini satu tungku untuk memasak air, dua tungku yang lain untuk merebus beras ketan. Beras ketan yang dimasak tersusun rapi dari bawah ke atas dengan alas masing-pasing memakai rangkaian kayu yang berbentuk segi empat, tersusun sampai 4 lapis. Ada keran semprotan air bersih, ember untuk mencuci dilengkapi gayung dari plastik.
Mereka kemudian memukul ketan dengan 3 buah pemukul dari kayu secara bersama ke arah semacam lumpang. Berganti-gantian mereka mengarahkan ke lumpang yang ada ketannya tersebut, kadang-kadang apabila belum terbiasa palu pemukulnya saling berbenturan atau pinggir lubangnya yang terkena. Sehingga menimbulkan suasana yang meriah dan membuat pemukul harus lebih perhatian dan hati-hati mengarahkan pemukulnya. Suasana semangat dan kemeriahan saat menumbuk mochi seakan menghilangkan rasa dingin yang mereka rasakan pada saat itu, sehingga secara tidak langsung belajar adaptasi terhadap perubahan cuaca dari musim gugur ke musim dingin.
Setelah acara penumbukan mochi selesai dilanjutkan dengan makan bersama di aula kantor setingkat kalurahan kalau di Indonesia. Acara makan bersama ini dilakukan dengan penuh keakraban dan dapat menghilangkan rasa sungkan dan jarak dalam berkomunikasi. Setelah semuanya selesai acara diakhiri dengan ucapan terima kasih dari perwakilan pemimpin warga setempat atas partisipasi dari semua orang yang hadir disitu, dan khusus anak-anak diberikan cendera mata bantuan dari Pemerintah Jepang setempat. Dan yang hadir lainnya masing-masing diberikan juga mochi serta buah jeruk untuk dapat dinikmati di rumahnya masing-masing.


STRATEGI SUSTAINABLE MARKETING ENTERPRISE DALAM PENGEMBANGAN WIDYAISWARA MENDUKUNG CITRA LEMBAGA KEDIKLATAN YANG DIPERHITUNGKAN

ABSTRAK

Widyaiswara merupakan salah satu alternatif jabatan dalam pengembangan karier aparatur penyelenggara negara. Menuntut pola pengembangan karier yang jelas, yang didukung dengan strategi dan kebijakan yang memberikan peluang Widyaiswara dalam pengembangan kapasitasnya secara optimal. Citra Lembaga Kediklatan sangat dipengaruhi oleh tingkat profesionalisme Widyaiswara. Kelembagaan dalam kediklatan merupakan wadah yang di dalamnya harus memunculkan cermin kreativitas dan inovasi seorang Widyaiswara. Widyaiswara diberikan peluang untuk dapat diberdayakan dalam mengkaji, meneliti, dan membuat konsep-konsep kebijakan yang ada serta wujud dari penerapan kebijakan tersebut. Dukungan kebijakan yang positif dalam pengembangan karier Widyaiswara dari berbagai pihak yang terkait dengan kelembagaan diklat, akan memotivasi kinerja seorang Widyaiswara untuk dituntut dapat berperan secara aktif dalam pembangunan sumberdaya manusia aparatur.

Kata Kunci: pengembangan karier Widyaiswara, citra lembaga kediklatan, kebijakan yang positif.


LATAR BELAKANG
Sebenarnya Badan Diklat Provinsi DIY. sudah memiliki modal atau kekuatan untuk mewujudkan Badan Diklat Provinsi DIY sebagai icon yang harus diperhitungkan, yaitu dengan dukungan Jogja dikenal sebagai daerah tujuan pendidikan. Hal tersebut memberikan makna bahwa Badan Diklat Provinsi DIY. adalah bagian dari pendidikan yang perlu disejajarkan dengan pendidikan formal yang sudah terkemuka di tingkat nasional dan internasional seperti Universitas Gadjah Mada, SMA dan SMP Favorit di Yogyakarta, atau pendidikan formal maupun non formal lainnya yang sangat banyak dijumpai di Yogyakarta.
Dengan perkembangan Badan Diklat Provinsi DIY. pada sekarang ini terlihat adanya kesan seperti mengesampingkan keberadaan Badan Diklat Provinsi DIY. bahkan ada yang berniat membubarkannya tanpa melihat Visi dan Misi Pemda Provinsi DIY. dan peran kediklatan aparatur yang harus dilihat sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, hal ini tentu berdampak bagi pengembangan karier seorang Widyaiswara. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 ayat (1), dijelaskan bahwa Widyaiswara merupakan Pendidik yang berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Hal tersebut adalah salah satu dari upaya yang kurang positif dari sekian contoh banyaknya kebijakan yang cenderung mematahkan motivasi widyaiswara untuk maju, tingkat kepedulian top manager belum sepenuhnya mendukung keberadaan diklat, kurang adanya koordinasi dalam penyelenggaraan diklat aparatur di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY., serta tidak adanya bantuan pendidikan lanjutan.
Untuk menuju Badan Diklat Provinsi DIY. sebagai icon yang diperhitungkan di tingkat global khususnya widyaiswara, perlu segera dilakukan strategi antara lain, memberdayakan widyaiswara secara penuh dalam setiap kegiatan diklat, widyaiswara diberikan kebebasan merencanakan program pengembangan dirinya menurut alokasi anggaran yang ada, mencabut kebijakan wajib mengajar 9 jam pelajaran per bulan karena tunjangan jabatan bukan hanya untuk mengajar saja tetapi juga untuk memenuhi kewajiban dan keperluan widyaiswara sesuai ruang lingkup ketugasan widyaiswara yang lain, membentuk jejaring kerja dengan orientasi kediklatan untuk referensi pembelajaran ke dalam dan luar negeri, peningkatan TOEFL Bahasa Inggris secara kontinyu, serta mengikutsertakan widyaiswara dalam diklat dan peluang studi ke tingkat yang lebih tinggi. Program-program tersebut penting dan perlu segera dilaksanakan apabila Pemerintah Provinsi DIY. tetap ingin mempertahankan icon Jogja sebagai pusat pendidikan.

PENGEMBANGAN STRATEGI PENINGKATAN KINERJA WIDYAISWARA DI BADAN DIKLAT PROVINSI DIY.
Guna menjawab berbagai kondisi permasalahan dalam upaya pengembangan kinerja widyaiswara perlu dilakukan berbagai upaya strategi dengan melakukan pendekatan dengan mempergunakan model analisis Sustainable Marketing Enterprise. Pada dasarnya terdapat tiga perubahan yang mempengaruhi eksistensi suatu organisasi secara umum dan widyaiswara pada khususnya, yakni politik (political change), teknik (technical change) dan budaya (cultural change).
1. Perubahan Politik
Perubahan politik membawa perubahan kepada kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan widyaiswara. Guna mendukung upaya pengembangan widyaiswa menuju profesionalisme kompetitif diperlukan bentuk kebijakan antara lain adalah bekerja sama dengan stakeholder lainnya memfasilitasi penggunaan teknologi informasi untuk memperluas potensi pasar widyaiswara menuju ke arah global.
2. Perubahan Teknik
Dalam rangka menjadikan widyaiswara menjadi professional dan kompetitif, dan bernilai tinggi, maka kualitasnya harus ditingkatkan terutama latar belakang studi, kemampuan penyerapan teknologi informasi, penguasaan Bahasa Inggris, dan hal-hal lain menyesuaikan permintaan pasar dalam arti calon peserta atau lembaga yang akan mengirim peserta diklat.
3. Perubahan Budaya
Pengaruh budaya melalui teknologi informasi baik media cetak maupun elektronik ternyata sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Upaya yang ditempuh dalam rangka menjadikan widyaiswara professional dan kompetitif yang berdaya saing adalah dengan pendekatan teori secara analisis model STV (Strategy, Tactic, Value). STV model merupakan inti dari model SME (Sustainable Marketing Enterprises) yang memiliki 3 sub model yaitu: Outlook, Architecture, dan Scorecard. Model tersebut menjelaskan bagaimana menganalisis penampilan (outlook) bagi lanskap, bagaimana merancang architecture bisnis/diklat di masa mendatang, serta bagaimana menyeimbangkan scorecard antara widyaiswara dan peserta diklat.
Sub model architecture terdiri dari 3 komponen yaitu : Strategy (S), Tactic (T) dan Value (V), yang jika digabungkan dikenal sebagai STV Triangle. Masing-masing komponen dari sub model ini terdiri dari 9 elemen stratejik dari architecture (nine core elements of architecture). Upaya mewujudkan widyaiswara menjadi professional dan kompetitif di tingkat global, dalam sub model architecture perlu didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis model tersebut adalah sebagai berikut.
1. Analisis Penyusunan Tactic (target market-share)
Analisis penyusunan taktik untuk mencapai target market terdiri dari 3 elemen yaitu : differentiation, marketing mix, dan selling. Ketiga elemen ini perlu didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
a. Differentiation
Menurut Philip Kotler terdapat 5 variabel differentiation yaitu product, services, personnel, chanel dan image. Dalam mengembangkan widyaiswara menuju profesionalisme kompetitif diperlukan daya tarik yang akan dipasarkan, hal ini sangat dipengaruhi oleh image Jogja sebagai Pusat Pendidikan, sehingga memungkinkan untuk dapat diwujudkan, namun demikian image negatif pun berkembang widyaiswara hanya untuk mempanjang usia, masuk kantor hanya pada waktu mengajar dan langsung dapat honor, dan sebagainya. Oleh karena itu untuk mengurangi image negatif dan mengembangkan image positif maka perlu brand image kepada target market bahwa Badan DIklat Provinsi DIY. mempunyai widyaiswara yang professional dan kompetitif. Brand image ini dapat dilakukan dengan leaflet, penulisan buku, penulisan literature di media cetak dan elektronik yang menyebutkan keberadaan Widyaiswara Gunung Sempu di dalamnya.
Upaya differentiation dilakukan dengan meningkatkan kualitas kompetensi widyaiswara dengan strategi pemberdayaan widyaiswara secara maksimal dalam setiap kegiatan diklat, dengan demikian muncul kreativitas dan inovasi hasil pemikiran bersama terhadap kegiatan diklat sebagai sesuatu hal yang unik dan beda dengan produk diklat lembaga lain.
b. Marketing Mix
The marketing mix menurut Philip Kotler (2003) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan suatu perusahaan untuk mencapai tujuan pemasaran pada target pasar yang telah ditetapkan. Mc Curthy (dalam Kotler, 2003) mengklasifikasikan seperangkat tool tersebut kedalam 4 kelompok yaitu :
1) Product; produk dalam analogi widyaiswara adalah hasil proses pembelajaran yang dihasilkan semestinya berkualitas dan bermutu. Hasil transfer ilmu akan membawa kesan kepada peserta untuk menceritakan kepada calon peserta lain. Kesan yang menyenangkan dari sisi penyampaian materi, serta manfaat dari sisi pengetahuan dan ketrampilan merupakan salah satu tanggungjawab widyaiswara yang mempunyai semangat untuk maju dan berdaya saing tinggi.
2) Price; dalam arti mutu widyaiswara akan menentukan penampilan widyaiswara di depan peserta diklat aparatur. Kompetensi, latar belakang studi, dan referensi pengalaman yang memadai akan menentukan tingkat harga atau standar dan persaingan di pasaran, oleh karena itu dengan mengusahakan dan memprioritaskan pengembangan widyaiswara dalam upaya menuju profesionalisme diperlukan dukungan anggaran yang memadai dan meningkatkan motivasi berprestasi bagi widyaiswara.
3) Place; merupakan tempat-tempat atau lokasi yang potensial untuk penawaran diklat dan sarana pengembangan profesionalisme widyaiswara. Lokasi yang kaya akan sumberdaya alam dan PAD yang tinggi mejadi lahan penawaran dan lokasi studi banding setiap kegiatan kediklatan, walaupun tidak menutup kemungkinan lokasi atau daerah yang lain. Widyaiswara perlu menentukan lokasi yang tepat dalam pengembangan profesionalismenya dalam hal tempat studi lanjutan, maupun tempat diklat yang baik.
4) Promotion; promosi sebagai bagian integral dari marketing merupakan hal yang mutlak dilakukan, sebab tidak mungkin suatu produk diklat maupun widyaiswara akan dikenal apabila diminati peserta dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu promosi dalam bentuk leaflet atau melalui media cetak dan elektronik, serta web site mutlak diperlukan. Kemajuan teknologi sekarang ini dapat digunakan semaksimal mungkin untuk mempromosikan setiap kegiatan diklat yang diampu oleh widyaiswara, seperti kontak telepon, direct mail, internet, televisi, media cetak, dan lain-lain. Selain itu juga perlu membuat baliho, leaflet, dan brosur yang disebarkan ke tempat strategis, serta mengikuti pameran dan pengiriman duta ke beberapa rapat koordinasi, kunjungan dalam dan luar negeri, sebagai untuk penetrasi pasar dalam lingkup kediklatan.
4) Selling
Elemen terakhir dari tactic adalah selling, pengertian selling tidak semata-mata mengacu pada personil selling. Menurut Kotler et al (2003), selling adalah taktik untuk menciptakan hubungan jangka panjang dengan pelanggan melalui produk perusahaan. Selling merupakan taktik mengintegrasikan perusahan, pelanggan, dan relationship. Selling kegiatan diklat otomatis membawa nama widyaiswara di dalamnya, hal tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penjualan secara langsung dapat dilakukan pada saat kebutuhan akan diklat dan minat peserta sedang tinggi, misalnya diklat prajabatan, diklat pengadaan barang dan jasa, dan diklat kepemimpinan. Sementara itu penjualan tidak langsung dilakukan dengan melalui pihak lain atau jejaring kerja seperti instansi lain di dalam maupun di luar wilayah Pemerintah Provinsi DIY. melakukan transaksi pelaksanaan kegiatan diklat dengan widyaiswara dari Badan Diklat Provinsi DIY.

2. Analisis Penyusunan Strategy (target mind-share)
Komponen strategy terdiri dari 3 elemen yaitu Segmentation, Targeting dan Positioning. Ketiga elemen ini perlu didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
a. Segmentation
Obsesi mewujudkan widyaiswara kea rah profrsionalisme kompetitif akan menjadi realita apabila disesuaikan dengan pasar, artinya penentuan segmen atau pangsa pasar dan kebutuhan pasar mutlak dilakukan. Segmentasi pasar diklat yang paling potensial tentunya tidak hanya terbatas di wilayah Provinsi DIY. namun juga di luar wilayah provinsi DIY. Dengan mengacu pada sasaran pasar dan pengalaman selama ini, maka segmennya adalah calon peserta diklat prajabatan, kepemimpinan, dan pengadaan barang dan jasa.
b. Targeting
Sesuai dengan target pengembangan profesionalisme widyaiswara yang berdaya saing, maka sudah seharusnya widyaiswara mampu bertindak selaku suplier dan sekaligus marketer setiap produk kegiatan diklat untuk memenuhi kebutuhan pasar di DIY. maupun di luar DIY. Untuk itu potensi widyaiswara Badan Diklat Provinsi DIY. harus ditingkatkan kualitasnya dalam rangka memenuhi target pasar sebagai calon peserta diklat.
c. Positioning
Upaya membentuk kesan positif di benak target market dengan menciptakan image produk sehingga dapat mempengaruhi permintaan .calon peserta lain sebagai pelanggan untuk ikut serta dalam kegiatan diklat. Maka produk yang akan dihasilkan dari proses diklat perlu dibuat nampak berbeda dari produk pesaing atau lembaga diklat yang lain. Misalnya status tingkat kompetensi widyaiswara, pengemasan materi pelatihan yang memperhatikan teknologi informasi, dan penyelenggara diklat yang disiplin merupakan upaya menciptakan posisi di depan salon peserta diklat. Oleh karena itu Badan Diklat Provinsi DIY. berdasarkan identifikasi kebutuhan pasar yang merupakan calon peserta diklat dalam maupun luar wilayah Provinsi DIY. maka Badan Diklat Provinsi DIY. memposisikan diri sebagai penyedia sekaligus pemasar untuk memenuhi pasar. Dengan demikian dituntut menghasilkan produk diklat yang berdaya saing tinggi baik dalam harga maupun kualitas, kreasi dan inovasi, serta menjaga kontinyuitas produk.

3. Analisis Pengembangan Value (target heart-share)
Value adalah komponen terakhir dari architecture sub model, yaitu cara perusahaan untuk memenangkan pemasaran dari target market. Tiga unsur dalam value adalah :
1) Brand
Brand tidak hanya nama atau merek, tetapi merupakan payung atau pelindung yang mempresentasikan suatu produk atau jasa. Brand merefleksikan nilai yang kita berikan kepada pelanggan. Hal inilah yang menjadikan alasan mengapa brand menjadi indikator nilai dari suatu perusahaan atau produk. Brand juga merupakan asset perusahaan yang menciptakan nilai pada konsumen yang menginginkan jaminan kualitas dan kepuasan (Kotler et al, 2003). Karena alasan tersebut di atas maka branding Jogja sebagai pusat pendidikan dapat ditetapkan dengan merk atau jargon bagi produk diklat aparatur, misalnya ”Diklat Gunung Sempu Pusat Pendidikan dan Pelatihan Aparatur”.
2) Service
Pada suatu perusahaan, service bukan hanya after sales service, before sales service to ever during sales service. Tetapi service adalah paradigma perusahaan untuk menciptakan nilai keabadian untuk pelanggan melalui produk dan jasa yang dihasilkan. Service adalah solusi dan perusahaan dapat memberikan solusi yang nyata pada pelanggan. Perusahaan harus dapat memberi nilai lebih yang terus menerus pada produk dan jasa jika ingin menjadi perusahaan yang nyata dan lestari. Hal ini akan memberi nilai konstan dan abadi dalam membangun hubungan dengan pelanggan (Kotler et al, 2003). Untuk itu perusahaan harus dapat memberikan nilai lebih pada produknya sehingga dapat mempertahankan kepercayaan pelanggan.
3) Process
Proses disini adalah penciptaan nilai tambah bagi pelanggan (creating customer value) yang mencerminkan kualitas produk, harga dan garansi perusahaan pada pelanggan. Keadaan ini mewajibkan perusahaan menjadi kapten dalam proses rantai penyediaan barang atau jasa yang mengatur atau mengelola dari bahan menjadi produk jadi. Terkait dengan dengan hal tersebut langkah utama yang perlu ditempuh adalah menanamkan nilai akan pentingnya widyaiswara dalam setiap kegiatan diklat, kemudian widyaiswara berupaya meningkatkan nilai tambah dirinya dihadapan peserta dan sumberdaya aparatur diklat dalam setiap proses kediklatan. Proses pemberdayaan dan pengembangan widyaiswara merupakan kunci kesuksesan diklat dalam meningkatkan kualitas produk diklat.

PENUTUP
Pada akhirnya proses pengembangan widyaiswara yang terpenting adalah perlunya dukungan lembaga kediklatan dimana widyaiswara bertugas. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan moril dan materiil, yang diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang positif dan memotivasi pengembangan karier seorang Widyaiswara. Widyaiswara yang dapat diterima oleh pasar akan mempengaruhi proses keberlanjutannya program-program pengembangan sumberdaya manusia aparatur. Citra kelembagaan akan semakin meningkat bila program-program kediklatan berhasil diselesaikan dengan memuaskan.
LITERATUR
Kotler, P., Hamlin, M.A., Rein, I., Haider, D.H. 2002. Marketing Asian Places, Attracting Investment to Cities, States, and Nations. John Wiley and Sons Asia Pte Ltd.

Kotler, P., Kartajaya, H., Huan, H.D., Liu, S. 2003. Rethinking Marketing, Sustainable Marketing Enterprise in Asia. Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd. Singapore.