Selasa, 09 Februari 2010

EFEKTIVITAS KINERJA KEBIJAKAN PUBLIK

Aparatur penyelenggara negara mempunyai tugas utama melakukan pengambilan keputusan yang lebih mengedepankan kepentingan publik. Setiap pengambilan keputusan bisa berdampak positif atau negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kontrol terhadap setiap kewenangan pejabat publik dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan publik, sehingga dampak yang akan terasakan lebih banyak manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Menghadapi era globalisasi ini pejabat publik menghadapi tantangan yang sangat besar, tidak hanya berasal dari publik atau masyarakatnya tetapi juga dunia internasional, maupun relevansinya kebijakan dalam menghadapi globalisasi. Aktivitas atau kegiatan dalam rangka melaksanakan pemenuhan kepentingan publik serta tugas-tugas publik lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah disebut pemerintahan. Dalam perkembangannya fungsi dan tugas pokok pemerintah menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin meningkat dan penuh dengan permasalahan yang sangat kompleks. Sehingga dalam pelaksanaan tugas pemerintahan banyak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang tidak mengedepankan kepentingan publik. Banyak terjadi ketidakefektivitasan dalam pengambilan kebijakan seorang pejabat publik dalam menghadapi era globalisasi ini.
Globalisasi dan perdagangan bebas yang ditandai dengan berbagai kesepakatan dalam wilayah yang lebih sempit, menjadikan semakin meningkatnya tantangan untuk memantapkan eksistensi posisi strategis suatu negara, kawasan atau daerah dalam pengembangan perekonomian. Hal tersebut sebagai suatu fenomena dengan implikasinya yang mempengaruhi perekonomian daerah, terutama kegiatan produksi dan perdagangan yang telah menciptakan kompetisi yang sangat kuat dalam meraih keunggulan bersaing. Sejumlah kewenangan yang telah dilaksanakan selama ini telah memberi kesempatan bagi daerah untuk melakukan pembaruan manajemen pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun dalam implementasi selanjutnya daerah tidak sedikit menghadapi tantangan dan kendala, namun keinginan dan motivasi yang kuat dari seluruh stakeholders telah memberi harapan baru.
Menurut Sugiono (2004), berkembangnya sistem global governance kontemporer yang berkarakter postnationale jelas menunjukkan semakin bervariasinya identitas global dari aktor-aktor yang terlibat. Mereka yang terlibat memiliki perspektif ataupun logika mereka sendiri. Oleh karenanya, konflik-konflik dalam kontek kekuasaan politik yang berlangsung di dunia ketiga menjadi lebih sulit untuk diadaptasi. Proses-proses untuk membangun, runtuhnya serta rekonstruksi kekuasaan politik di dunia ketiga cenderung sarat dengan kekerasan. Lemahnya institusi-institusi politik menjadikan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai praktik yang sangat umum. Governance di negara-negara dunia ketiga dalam konteks global governance kontemporer, oleh karenanya, bukan semata-mata masalah politik yang bersifat teknis dalam arti kecakapan untuk membangun tatanan institusional, melainkan juga ‘seni’ untuk mencapai tujuan-tujuan politik dalam konteks yang cenderung sangat bertentangan.
Dalam konteks negara Dunia Ketiga, sebaliknya, globalisasi memiliki makna yang lain. Deregulasi, liberalisasi, privatisasi, sebagai sinonim globalisasi (Altvater, 1986), jelas bukan perluasan bentuk politik negara, melainkan penyerahan fungsi-fungsi regulasi negara kepada institusi ataupun aktor-aktor lain (Sugiono, 2004).
Globalisasi membawa dampak perubahan bagi seluruh organisasi, institusi, maupun perusahaan swasta. Oleh karena itu perlu disikapi dengan cara bijaksana dan berwawasan luas, sehingga paradigma global dapat membawa arus perubahan positif khususnya bagi birokrasi. Kinerja kebijakan yang efektif dalam menghadapi era globalisasi memerlukan pedoman atau standarisasi yang berpihak kepada kepentingan publik.
Menurut Fayol (dalam Robbins, 1994), prinsip-prinsip organisasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk diaplikasikan pada semua tingkatan organisasi, yaitu :
1. Pembagian kerja. Spesialisasi menambah hasil kerja dengan cara membuat para pekerja lebih efisien.
2. Wewenang. Jika wewenang digunakan seseorang harus sama dengan tanggungjawabnya.
3. Disiplin. Disiplin yang baik merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, saling penegrtian yang jelas antara manajer dan karyawan tentang peraturan serta penerapan hukuman yang adil bagi yang menyimpang.
4. Kesatuan komando. Setiap pegawai seharusnya menerima perintah hanya dari seorang atasan.
5. Kesatuan arah. Setiap kelompok aktivitas organisasi yang mempunyai tujuan sama harus dipimpin seorang manajer dengan menggunakan sebuah rencana.
6. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu.
7. Remunerasi. Para pekerja harus digaji sesuai dengan jasa yang mereka berikan.
8. Sentralisasi. Apakah pengambilan keputusan itu disentralisasi atau didisentralisasi
9. Rantai Skalar. Garis wewenang dari manajemen puncak sampai ke tingkat yang paling rendah merupakan rantai skalar.
10. Tata tertib. Orang dan bahan harus ditempatkan pada tempat dan waktu yang tepat.
11. Keadilan. Para manajer harus selalu baik dan jujur terhadap bawahan.
12. Stabilitas masa kerja pegawai. Perputaran (turn over) pegawai yang tinggi adalah tidak efisien.
13. Inisiatif. Para pegawai yang diizinkan menciptakan dan melaksanakan rencana-rencana akan berusaha keras.
14. Esprit de Corps. Mendorong team spirit akan membangun keselarasan dan persatuan di dalam organisasi.
Pedoman tersebut dapat dijadikan acuan seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan agar menghasilkan kinerja yang efektif. Walaupun seorang pejabat pemerintah mempunyai wewenang yang terkait tiga azas hukum, yaitu asas yuridiksi (Rechmatigeheid), asas legalitas (wetmatigeheid), dan asas diskresi (freies ermessen), namun penggunaannya harus saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Ketidakefektivitasan kebijakan banyak terjadi dalam hal penyalahgunaan asas diskresi yaitu kebebasan dari seorang pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam pengontrolan setiap kebijakan yang telah diputuskan, mengingat banyaknya pejabat pemerintah di negeri ini dan lembaga pengawasan yang berfungsi sebagai kontrol belum sepenuhnya dapat menjangkau dan menindaklanjuti kebijakan tersebut karena keterbatasan wewenang dan ruang lingkupnya.
Pada akhirnya untuk mencapai efektivitas kinerja kebijakan publik yang efisien dalam era globalisasi ini, diperlukan konsep, standar kinerja, pedoman, serta pengawasan yang maksimal. Kontrol dan komitmen untuk membangun kepemerintahan yang baik perlu diupayakan oleh setiap pejabat pemerintah, masyarakat, dan swasta. Sehingga tercapai keharmonisan dalam setiap pelaksanaan kebijakan publik, sebagai kinerja yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

KONSEKUENSI OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah membawa konsekuensi bagi Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan pelayanan publik yang sebaik-baiknya. Tuntutan masyarakat untuk dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya, harus direspon pemerintah secara aspiratif. Pelayanan publik di berbagai bidang dilakukan dengan penekanan pengelolaan yang berfokus kepada pelanggan yaitu masyarakat secara umum, swasta, serta antarinstansi pemerintah itu sendiri. Keadaan yang cukup menggembirakan telah terjadi di berbagai daerah, pemerintah daerah seakan-akan berlomba-lomba melaksanakan proses pelayanan publik dengan berbagai pendekatan. Mulai dari konsep pelayanan satu atap, pelayanan satu loket, pelayanan terpadu, pelayanan satu pintu, dan pelayanan satu meja. Bahkan ada yang mentargetkan perlunya pengakuan secara internasional dengan melakukan sertifikasi ISO.
Beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan dalam proses pelayanan publik adalah adanya pengakuan dari masyarakat, kepuasan masyarakat, serta lancarnya pemenuhan keperluan-keperluan hidup masyarakat di wilayah dimana pelayanan publik diberikan. Hal tersebut tidak terlepas dari kualitas penampilan atau performance pelayanan publik, mempunyai ciri khas sebagai dasar ketertarikan publik, dapat dipercaya dari sisi waktu pelayanan, pelayanan yang sesuai dengan standarisasi lokal dan global, ketahanan terhadap situasi dan kondisi yang buruk, kemampuan dalam melakukan pelayanan, serta estetika para petugas pelayanan publik.
Pada prinsipnya pelayanan publik tidak bisa terlepas dari permasalahan pemenuhan kepentingan umum. Hal inilah yang mendasari perlunya suatu metode atau proses pelayanan yang berbasis kepada kepentingan publik. Hal ini merupakan sikap responsif dari pemerintah dalam upaya pemenuhan kepentingan umum tersebut. Pada dasarnya kepentingan umum juga merupakan perkembangan dari kepentingan pribadi orang per orang, yang dalam perkembangannya ternyata kepentingan tersebut juga diperlukan oleh sekelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Semakin lama kepentingan sekelompok orang tersebut semakin banyak dan berubah menjadi kepentingan umum.
Permasalahan publik tersebut sangat beragam terjadi di berbagai daerah, dan perlu mendapat pencermatan dari dua sudut pandang antara pemerintah sebagai pelayan dan masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani. Kontak diantara keduanya akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan atau gap yang menurut Parasuraman (1985) terdapat lima buah gap yang perlu diperhatikan dalam pelayanan publik, yaitu:
1. Kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen.
2. Persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan desain pelayanan.
3. Disain pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen.
4. Tindakan dari pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen.
5. Harapan pelanggan berdasarkan hasil pemasaran, pengalaman masa lalu, dan komunikasi dengan pelanggan lain terhadap penerimaan pelayanan dan pelanggan.
Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada model berikut ini.



Tugas yang paling pokok setiap aparatur dan instansi pemerintah adalah pelayanan. Oleh karena itu peningkatan kinerja pelayanan pemerintah daerah dalam era otonomi daerah ini merupakan konsekuensi yang tidak akan pernah berakhir sejalan dengan adanya intitusi yang bertanggung jawab terhadap proses pelayanan tersebut. Optimalisasi kinerja pelayanan aparatur pemerintah dalam menghadapi tantangan globalisasi sekarang ini semakin komplek dan perlu mendapatkan perhatian khusus bagi pengambil kebijakan pemerintah, mulai dari pimpinan tingkat atas, menengah, maupun bawah. Diharapkan dari perhatian tersebut muncul komitmen bersama untuk selalu memprioritaskan segala fungsi, tugas pokok, dan kegiatan atau proyek yang berorientasi terhadap pelanggan yaitu masyarakat.
Pada akhirnya pelayanan Publik yang baik di era otonomi daerah merupakan konsekuensi yang harus dilaksanakan, dan untuk itu diperlukan perubahan paradigma birokrasi pemerintah yang selalu berusaha keras melayani masyarakat. Hal tersebut tidak akan dapat terwujud apabila tidak disertai komitmen dari seluruh komponen sebagai pilar-pilar good governance, yaitu pemerintah baik eksekutif, legislatif, yudikatif, unsur swasta, serta masyarakat untuk mewujudkan bersama konsepsi pelayanan publik yang baik di era otonomi daerah ini. Teknologi informasi diperlukan sebagai pendukung utama selain dukungan sarana prasarana lainnya, serta profesionalisme sumberdaya manusia aparatur sebagai ujung tombak pelaksanaan pelayanan yang berkualitas.

PENGEMBANGAN WILAYAH

Pengembangan wilayah dalam kerangka peningkaan daya saing daerah jika dilihat dari optimalisasi sumberdaya alam yang terdapat di areal suatu wilayah perlu memperhatikan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. Undang-undang tersebut dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi atau Kabupaten yang berisi strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah/daerah/kawasan. Dengan adanya Rencana Umum Tata Ruang Wilayah, isinya mencakup kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.
Sumberdaya pembangunan menjadi modal dalam meningkatkan daya saing, sehingga perlu diinventarisasi dan diidentifikasi terlebih dahulu, sehingga prospek dan tidaknya telah diketahui sejak awal. Hal ini perlu mengingat suatu kawasan yang akan dikembangkan akan menyangkut sumberdaya pembangunan yang ada pada wilayah tersebut. Kemudian setelah proses studi kelayakan dilaksanakan, ditindaklanjuti dengan seberapa jauh pemanfaatan wilayah untuk mengolah potensi sumberdaya pembangunan tersebut. Sehingga wilayah yang potensial tersebut telah mempunyai alokasi ruang yang jelah dalam perencanaan pengembangan wilayah.
Sumberdaya pembangunan dalam suatu wilayah merupakan potensi yang harus dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan perencanaan yang komprehensif yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan, publik, dan swasta untuk membuat langkah-langkah perencanaan awal untuk mengelola sumberdaya pembangunan tersebut. Perencanaan awal tersebut merupakan kesepakatan bersama yang secara legalitasnya termuat dalam rencana tata ruang wilayah, untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan dalam jangka panjang.
Perencanaan pengembangan suatu wilayah perlu memperhatikan hasil kajian analisis profil wilayah. Kajian ini sebagai langkah untuk mengidentifikasi potensi, dampak, dan permasalahan yang kemungkinan dapat terjadi dalam pengembangan suatu wilayah di setiap sektor pembangunan. Analisis profil wilayah meliputi (Prodi Ilmu Lingkungan, Geografi UGM, 2004).
1. Analisis Kependudukan, diarahkan untuk memperkirakan dan mengantisipasi pola pertumbuhan, jumlah dan persebaran penduduk, sebagai masukan bagi penyusunan rencana kebutuhan dan kemanfaatan sumberdaya alam serta penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi.
2. Analisis ketenagakerjaan, diarahkan untuk memperkirakan dan mengantisipasi jumlah pengangguran, kualifikasi pendidikan, jenis mata pencaharian dan pekerjaan, sebagai masukan bagi perencanaan penyediaan lapangan kerja.
3. Analisis sosial budaya, menyangkut sistem sosial dan mental spiritual diarahkan untuk mengetahui kondisi sosial budaya, baik yang bersifat mendorong maupun mnghambat kegiatan pembangunan dan sebagai masukan bagi perencanaan pembangunan sumberdaya manusia.
4. Analisis Ekonomi, yang menyangkut lapangan usaha, diarahkan untuk memahami karakteristik perkembangan ekonomi suatu wilayah yang meliputi antara lain pertumbuhan ekonomi, sumbangan setiap sektor bagi produktivitas daerah, perbedaan pertumbuhan antar wilayah dan antar antar pemerintahan.
5. Analisis pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk mengkaji tingkat keoptimalan, keselarasan, keseimbangan dan keserasian penggunaan sumberdaya alam dan konteks keruangan dan mengingat kondisi lingkungan.
6. Analisis struktur ruang bertujuan untuk menemukenali masalah pengembangan wilayah yang memiliki dimensi ruang untuk membuat gambaran hubungan antar pusat pelayanan antar kawasan dan termasuk jenjang hierarkinya.
7. Analisis wilayah sebagai perpaduan dari berbagai analisis di atas untuk menemukenali profil wilayah yang berfungsi sebagai masukan.
8. Informasi untuk menetapkan kebijaksanaan dan strategi dalam implementasi pengembangan wilayah.
Pengembangan suatu wilayah memerlukan konsistensi yang berkelanjutan dalam pelaksanaannya, sehingga harus dikontrol dengan rencana tata ruang wilayah yang aspiratif, memadai, dan sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungannya, sehingga dari RTRW tersebut dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam pengembangan wilayah secara konsisten dan acuan dalam penerbitan ijin lokasi bagi pembangunan dalam rangka mengembangkan wilayah. Pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan meliputi berbagai sistem yang berkaitan satu dengan yang lain yang merupakan satu ekosistem lingkungan, yang terdiri dari sistem kehidupan dan hasil budi daya manusia. Meliputi sistem pendistribusian penduduk, sistem abiotik (fisik), sistem kehidupan flora, sistem kehidupan fauna, sistem kegiatan pembangunan dengan adanya pusat-pusat pelayanan (sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, pasar, dan sebagainya).
Sumberdaya pembangunan yang meliputi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam pengelolaannya di dalam pemanfaatan pada suatu wilayah akan membentuk pola-pola pemanfaatan ruang. Pola pemanfaatan ruang tersebut berupa kawasan-kawasan atau satuan kawasan suatu wilayah, diantaranya meliputi kawasan lindung, kawasan permukiman, kawasan jasa (perniagaan, perindustrian, pemerintahan, transportasi, pariwisata, dan lain-lain), dan lain-lain. Sehingga untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya pembangunan tersebut diperlukan pengelolaan kawasan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat. Diantaranya adalah pengelolaan kawasan lindung untuk menjaga ketersediaan air, menjaga kebersihan dan kesehatan udara, dan memperkuat kestabilan tanah. Pengelolaan lingkungan permukiman baik di wilayah perkotaan maupun di perdesaan untuk menata tingkat kerapatan rumah yang sehat, jarak dan kedalaman septic tank agar tidak menimbulkan pencemaran bakteri coly, pengaturan konversi lahan dengan tetap menjaga ketahanan pangan.
Setiap kegiatan pengembangan wilayah diperlukan proses pengendalian yang kontinuitasnya teratur dan terjaga, hal tersebut diperlukan untuk memonitor pemanfaatan sumberdaya pembangunan agar dalam eksploitasinya tetap terkontrol, terpadu, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kegiatan pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Merumuskan kebijakan penataan ruang secara terpadu yang melibatkan berbagai stakeholders dan diterapkan secara konsisten.
2. Pemberian izin secara ketat dan penertiban perizinan pemanfaatan ruang kawasan sesuai dengan rencana tata ruang yang ada bagi kegiatan pembangunan di setiap satuan kawasan pengembangan wilayah.
3. Pemberian penghargaan berupa kompensasi atau insentif (misalnya pengurangan pajak) serta pengenaan hukuman (misalnya denda, kurungan penjara) bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pemanfaatan satuan kawasan pengembangan wilayah.
4. Monitoring, pengawasan, dan evaluasi dalam bentuk laporan berkala, pemantauan rutin, serta mencari umpan balik yang positif dapat diterapkan dalam pengembangan wilayah.
Satuan kawasan yang berhasil dikembangkan sesuai dengan peruntukannya akan dapat meningkatkan daya saing wilayah tersebut. Sebagai contoh keberhasilan pengembangan suatu wilayah menjadi kawasan perindustrian akan berdampak menjadi pusat pertumbuhan daerah tersebut. Daerah di sekitar kawasan industri secara langsung akan mengikuti pola-pola kegiatan industrialisasi, akan bermunculan permukiman-permukiman baru, bengkel motor dan mobil, pedagang, rumah makan, pompa bensin, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang menunjang perkembangan industrialisasi. Tingginya perputaran modal akan berdampak naiknya taraf kehidupan masyarakat setempat. Dengan demikian daerah tersebut yang semula kurang diperhitungkan, pada saatnya akan mempunyai tingkat daya saing tinggi yang memberikan ketertarikan tersendiri bagi daerah lain untuk berinvestasi. Contoh wilayah yang mempunyai daya saing tinggi di tingkat internasional adalah Singapura, negara yang relatif mempunyai luas wilayah terbatas, tetapi mampu menjadi pusat perdagangan dan bisnis tingkat dunia. Indonesia juga mempunyai Bali sebagai wilayah yang berhasil mengembangkan kawasan wisata.
Peningkatan daya saing daerah sangat tergantung oleh sistem pengelolaan sumberdaya pembangunan suatu wilayah. Pengelolaan yang memperhatikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan tetap mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) akan dapat menciptakan suatu wilayah yang sejuk, indah, penuh dengan pesona. Daya saing suatu daerah yang perlu dikembangkan disini adalah dalam kerangka memberikan daya tarik dari berbagai sektor pembangunan, yang dilihat dari sisi keunggulan produk, pesona kawasan, kearifan lokal, budaya, dan sisi lain yang kesemuanya memerlukan sistem pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Harapannya adalah peningkatan daya saing yang telah digariskan dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah jangan diartikan setiap daerah harus saling berkompetisi, berpacu di segala sektor tanpa memperdulikan daerah sekitarnya, tetapi semoga arti daya saing dapat dikembangkan menjadi daya kolaboratif antardaerah. Dengan demikian antardaerah akan saling sinergis dalam setiap pelaksanaan pembangunan, yang pada akhirnya rakyatlah yang akan menikmati hasil sistem pengelolaan pembangunan yang saling menguntungkan atau win-win solution.

TRIPPLE C STRATEGY

PENDAHULUAN
Kanter (1995) dalam bukunya World Class: Thriving Locally in the Global Economy mengungkapkan tiga strategi atau konsep yang perlu dijalankan oleh suatu institusi dalam menghadapi globalisasi dunia saat ini. Strategi dalam konsep ini akan menjadi aset penting tak nyata atau intangible assets yang akan menjadi tenaga pendorong kesuksesan suatu institusi atau organisasi yang berkeinginan untuk menjadi atau menuju kepada kelas dunia. Tiga strategi atau tripple C strategy tersebut adalah sebagai berikut.
1. Concept, merupakan ide pengetahuan terbaik dan terkini.
2. Competence, merupakan kebiasaan mengoperasikan dengan standar tinggi di segala tempat dan lini.
3. Connections, hubungan terbaik yang memberikan jembatan bagi sumberdaya dari beberapa masyarakat dan organisasi di seluruh dunia.

CONCEPT
Secara konseptual Badan Diklat Provinsi DIY. telah memiliki visi yang cukup representatif dan berwawasan ke depan, adapun visi Badan Diklat Provinsi DIY. adalah ”Terpercaya dalam Mewujudkan Aparatur yang Katalis dan Kompetitif”. Dari visi ini diharapkan menjadi komitmen bersama yang mendukung untuk menjadikan Badan Diklat Provinsi DIY. sebagai diklat unggulan, baik di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Kata kompetitif adalah kunci untuk segera dilakukan berbagai upaya dan langkah pasti dalam rangka menyiapkan komponen-komponen utama yang merupakan pilar kegiatan pendidikan dan pelatihan yaitu kelembagaan diklat, program diklat, sumberdaya penyelenggara diklat, dan widyaiswara.
Penjabaran pengertian dari visi Badan Diklat Provinsi DIY. merupakan penjelasan untuk pedoman aplikasi konsep yang cukup inovatif dan kreatif dari sisi tataran konsepsi pemahaman visi lebih lanjut Penjabaran konsep visi memberikan pandangan jauh ke depan menuju diklat unggulan, sehingga perlu konsekuensi dalam pelaksanaannya, berikut adalah penjabaran dari visi tersebut sebagai berikut.
Terpercaya adalah menjadi sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan yang mempunyai komitmen dalam kompetensi untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang berkemampuan.
Katalis bahwa dalam peran barunya pemerintah akan lebih diarahkan sebagai pengatur dan pengendali dari pada sebagai pelaksana langsung suatu urusan dan layanan. Hal ini di dasarkan kepada pengalaman bahwa jika urusan-urusan yang dapat diselenggarakan sendiri oleh masyarakat tetapi diselengarakan oleh pemerintah, akan menimbulkan ketergantungannya kepada pemerintah, sehingga kreatifitas dan semangat inovasi masyarakat maupun individu anggota masyarakat menjadi lemah.
Kompetitif berarti masyarakat yang mempunyai daya saing dalam bidang-bidang yang potensial mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mengarah kepada kemandirian, terutama dalam persaingan global yang sudah berlangsung saat ini, diantaranya dalam bidang pariwisata, pendidikan dan budaya. Pengertian masyarakat yang kompetitif ini secara internal juga mengandung pengertian bahwa masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta tetap masyarakat yang berbudaya, komunikatif, kooperatif, dan toleran.
Dari visi tersebut kemudian dijabarkan lagi kedalam misi Badan Diklat Provinsi DIY. sebagai berikut.
1. Mewujudkan peningkatan kualitas staf, pimpinan, widyaiswara, serta peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana Badan Diklat.
2. Mewujudkan kualitas penyelenggaraan dan pengembangan diklat Prajabatan, Kepemimpinan, Teknis dan Fungsional serta Diklat Inovatif secara profesional.
3. Mewujudkan peningkatan networking (jejaring kerja) dan kerjasama baik antar lembaga maupun antar wilayah secara sinergis dalam penyelenggaraan diklat Aparatur.
Selain itu konsep lain yang mendasari landasan gerak dan langkah Badan Diklat Provinsi DIY. menuju lembaga diklat unggulan telah dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan Dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mencakup kedudukan, fungsi, dan tugas sebagai berikut:
Kedudukan
1. Badan Pendidikan dan Pelatihan adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendidikan dan pelatihan.
2. Badan Pendidikan dan Pelatihan dipimpin oleh seorang Kepala yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
3. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi
Badan Pendidikan dan Pelatihan mempunyai fungsi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pegawai.
Tugas
1. Menyusun program di bidang pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan rencana strategis Pemerintah Daerah;
2. Merumuskan kebijakan teknis di bidang pendidikan dan pelatihan pegawai;
3. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pegawai;
4. Melaksanakan pelayanan penunjang / fasilitasi terhadap pendidikan dan pelatihan pegawai oleh instansi lain, Kabupaten / Kota untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi;
5. Menyelenggarakan kegiatan ketatausahaan
Kedudukan, fungsi, dan tugas tersebut secara konseptual apabila dilaksanakan dengan sepenunya tentu akan menjadikan posisi lembaga diklat ini mempunyai daya saing pada tingkat global. Walaupun tentu saja perlu inovasi-inovasi tambahan dalam implementasinya. Secara kelembagaan ada beberapa tugas yang belum optimal dilaksanakan, artinya pelaksanaan tugas sehari-hari masih berkisar kepada rutinitas, dan bahkan dalam melaksanakan kegiatan rutinitas ini efektivitasnya masih dipertanyakan kesuksesan tingkat pelaksanaannya. Hal ini tentu tidak lepas dari permasalahan-permasalahan internal dan eksternal institusional, permasalahan tersebut dapat menjadi kendala apabila tidak segera diselesaikan dan didapatkan solusi pemecahannya.
Beberapa kendala dilihat dari perspektif analisis concept yang menghambat berikut strategi yang dapat dilaksanakan untuk menuju sebaga lembaga diklat unggulan adalah sebagai berikut.:
1. Deskripsi pembagian tugas dalam kelembagaan struktur organisasi beberapa tugas belum dapat dilaksanakan sesuai dengan arah visi, misi, strategi, dan fungsi Badan Diklat Provinsi DIY. Struktur organisasi belum dapat mewadahi beberapa personil yang sangat kompeten dan profesional melaksanakan fasilitasi kediklatan di luar APBD. Keleluasan bergerak dalam dinamika persaingan global sangat diperlukan, kreatifitas dalam memasarkan potensi kediklatan aparatur belum mendapat dukungan sepenuhnya dari sisi internal dan eksternal Badan Diklat Provinsi DIY., bahkan muncul beberapa anggapan yang menghakimi kreativitas tersebut sebagai penyimpangan yang perlu dikendalikan. Pengendalian memang mutlak diperlukan mengingat salah satu prinsip birokrasi adalah mempunyai kejelasan dalam regulasi serta adanya hirarki dan tingkatan otoritas (Weber,1978). Hal inilah yang menimbulkan kekakuan dalam bergerak menuangkan kreativitas ide dan inovasi yang sebetulnya telah mengarah menuju lembaga diklat unggulan.
2. Program diklat yang direncanakan pada setiap periode anggaran sering mendapat ganjalan dalam tingkat pengambilan keputusan. Tingkat kepentingan dalam penilaian dan evaluasi perencanaan anggaran sering tidak dikaji secara mendalam dan dikoordinasikan oleh berbagai pihak perencana program diklat, sehingga sering landasan argumentasi dalam mempertahankan rencana program menjadi kurang dapat diterima oleh pihak penentu anggaran.
Berkurangnya anggaran tentu berdampak pada efektivitas pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengelolaan kegiatan diklat, diantaranya studi banding orientasi program kediklatan, analisis kebutuhan diklat, pengembangan kurikulum, penyusunan modul, evaluasi pascadiklat, pengembangan sistem informasi kediklatan, dan pengembangan widyaiswara.
3. Sumberdaya penyelenggara diklat mempunyai kendala utama dalam hal menyatukan komitmen kebersamaan dalam satu team. Sering terjadinya mutasi dalam jabatan struktural membawa dampak pelaksana merasa lebih memahami ruang lingkup ketugasannya dibandingkan dengan pejabat yang baru, sehingga persoalan koordinasi dan hubungan kerja menjadi sulit terbina antar penyelenggara diklat. Ketidakmerataan dalam hal peneriman sering menjadi pemicu ketidakharmonisan dalam setiap kegiatan.
4. Widyaiswara belum sepenuhnya mempunyai komitmen sebagai bagian dari kelembagaan. Di sisi lain sumberdaya penyelenggara diklat lain juga menganggap widyaiswara secara eksklusif dan sering dianggap sebagai bagian luar dari sistem pengelolaan kediklatan.

COMPETENCY
Kompetensi dapat dianalogkan dengan tingkat pendidikan yang merupakan sarana formal dan non formal untuk dapat melakukan kebiasaan mengoperasikan atau melaksanakan setiap kegiatan kediklatan dengan standar tinggi di segala tempat dan lini. Untuk dapat mencapai tingkat standarisasi yang berdaya saing tinggi diperlukan strategi sebagai berikut.
1. Aspek kelembagaan perlu didukung secara penuh oleh kalangan eksekutif dan legislatif, baik di tingkat top manager maupun aparatur di tingkat pelaksana. Dukungan pengakuan kompetensi diklat membawa dampak dihormatinya lembaga diklat ini sebagai salah satu lembaga yang memang benar-benar diperlukan untuk meningkatkat kompetensi aparatur menjadi profesional. Dukungan dapat berupa pemberian anggaran secara proporsional, pembuatan kebijakan dan kebijaksanaan yang dapat mengakomodasi pengembangan diklat menuju diklat unggulan. Salah satu kebijakan yang menyangkut kewenangan kelembagaan adalah perlunya ditetapkan kebijakan “one gate training centre policy” bagi aparatur dibawah Pemerintah Daerah Provinsi DIY.
2. Aspek program diklat diupayakan mempunyai strategi yang selalu mengarah kepada bagaimana meningkatkan kompetensi aparatur, baik dari sisi tingkat pemahaman pengetahuan, moralitas dan perilaku, serta ketrampilan. Program diklat harus terpadu dan berkesinambungan, sehingga dapat dilakukan evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang telah dilaksanakan. Bobot program diklat harus mulai direncanakan dengan acuan-acuan atau standarisasi kegiatan yang diakui dalam tingkatan regional, nasional, maupun global. Misalnya Diklat Kepemimpinan, Teknis, dan Fungsional harus terakreditasi oleh lembaga yang berwenang dan diupayakan mendapatkan sertifikasi secara internasional dari ISO. Akreditasi dan sertifikasi tersebut tentu memerlukan kuantitas dan kualitas yang memadai seperti widyaiswara, proses administrasi, evaluasi, kurikulum, materi bahan ajar atau modul, dukungan dana, sarana penunjang kegiatan diklat seperti bangunan gedung, asrama, lap top, LCD, OHP, Sound System, dan lain-lain.
3. Sumberdaya penyelenggara diklat perlu terus ditingkatkan kompetensinya dengan pendidikan formal maupun diklat teknis dan fungsional khususnya Training of Course. Pembinaan dalam rangka koordinasi dan hubungan kerja harus secara rutin dilaksanakan, hal ini membawa dampak terhadap motivasi sumberdaya penyelenggara diklat untuk tetap terus mengoptimalisasikan keahliannya bagi kemajuan diklat menuju diklat unggulan.
4. Widyaiswara merupakan ujung tombak dalam pencapaian tingkat keberhasilan seorang aparatur dapat meningkatkan pemahaman pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku, dan ketrampilan. Oleh karena itu tingkat kompetensi widyaiswara dengan standar yang tinggi mutlak diberikan peluang untuk mengembangkannya. Peningkatan pendidikan formal Widyaiswara minimal harus Strata 2 dan diharapkan dapat mencapai jenjang Strata 3. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terkendala kepada anggaran pengembangan widyaiswara yang belum dapat secara langsung dipergunakan oleh widyaiswara Badan Diklat Provinsi DIY. Diklat-diklat Training of Trainer sesuai spesifikasi keahlian perlu difasilitasi. Pengorganisasian antar widyaiswara perlu digiatkan dengan kegiatan seperti orasi ilmiah, seminar ilmiah, diskusi substansi pelajaran, sehingga diharapkan widyaiswara tidak ketinggalan dalam pengetahuan mengenai IPTEKSOSBUD yang selalu berkembang dan cepat berubah dalam arus globalisasi saat ini.

CONNECTION
Connection diartikan sebagai membangun hubungan yang terbaik agar dapat menjadi jembatan bagi sumberdaya di Badan Diklat Provinsi DIY. dengan seluruh institusi maupun organisasi, serta masyarakat di seluruh dunia. Dari hubungan tersebut diharapkan dapat menciptakan jejaring kerjasama yang saling menguntungkan. Prinsip kolaborasi dengan berbagai pihak sangat penting untuk dapat dijadikan sarana peningkatan kualitas mutu dan standarisasi diklat. Beberapa strategi yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut.
1. Dilihat dari aspek kelembagaan, Badan Diklat Provinsi DIY. perlu melakukan strategi menciptakan networking atau jejaring kerja dan kerjasama baik antar lembaga maupun antar wilayah secara sinergis dalam penyelenggaraan diklat aparatur, hal ini dimaksudkan untuk membina dan menjaga hubungan kerja yang saling menguntungkan secara internal Pemerintah Provinsi DIY. maupun dengan lembaga di luar Pemerintah DIY.
2. Dari hasil jejaring kerja tersebut akan didapatkan pola pikir dalam pengembangan program diklat di Badan Diklat Provinsi DIY. menjadi serangkaian program kegiatan yang minimal kualitasnya sama dan berupaya untuk menjadi lebih baik dibandingkan lembaga lain.
3. Sumberdaya penyelenggara diklat perlu dipahamkan sikap bahwa mereka menjadi satu bagian yang saling berkesinambungan, satu dengan yang lainnya saling menutupi kelemahan tugas masing-masing. Sikap fleksibilitas ini dimungkinkan apabila dalam setiap kegiatan pembagian personil dilakukan secara merata dan team-team dibentuk pada masing-masing kegiatan tersebut, dengan demikian diharapkan rasa tanggung jawab bersama dapat ditumbuhkembangkan. Sumberdaya penyelenggara diklat perlu diberikan kesempatan untuk dapat melakukan kegiatan kunjungan ke lembaga lain dengan fasilitas dan tanggung jawab pelaporan yang memadai. Jadi tidak terkesan hanya jalan-jalan saja tetapi dibalik itu mereka mendapatkan sumber informasi lain yang dapat dijadikan perbandingan dengan kinerja yang telah dilakukan.
4. Strategi melaksanakan orientasi kediklatan untuk menciptakan jejaring kerja ke lembaga pendidikan tinggi maupun ke instansi/lembaga diklat lain akan menambah wawasan pengetahuan dan mental widyaiswara yang sangat mendukung untuk dapat berbagi pengalaman dalam proses pembelajaran. Kemudian dari hasil net working tersebut perlu setiap saat perlu dibina hubungannya agar dapat dimanfaatkan bagi widyaiswara dalam rangka meningkatkan pengetahuan secara global.

PENUTUP
Pada prinsipnya strategi konsep, kompetensi, dan koneksi memerlukan kesiapan dalam hal menerapkan ide-ide penting yang didukung dengan sumberdaya aparatur yang kompeten, serta mempunyai jejaring kerja dan wawasan pengetahuan yang luas dan global. Strategi tersebut penting sebagai landasan perencanaan program kediklatan yang akan dilaksanakan sumberdaya penyelenggara diklat dan widyaiswara dalam lingkup kelembagaan diklat aparatur yang telah ada. Tantangan dan kendala akan segera dapat diidentifikasi sedini mungkin dan diupayakan solusinya dengan strategi ini.
Diklat unggulan bukan merupakan impian apabila konsekuensi dalam menerapkan tripple c strategy dilakukan secara serius dalam pelaksanaannya dan didukung oleh segenap stakeholders yang ada secara bersama, satu visi, misi, dan komitmen. Menghargai dan mengakui eksistensi diklat sebagai bagian dari unsur penting dalam pengembangan sumberdaya aparatur, artinya aparatur yang akan mengikuti, dan setelah selesai mengikuti diklat benar-benar diberdayakan, sebagai hasil sebab dan akibat dari setiap proses diklat aparatur.
Keterpaduan penyelenggaraan diklat akan sulit teridentifikasi dan termonitor secara berkelanjutan, apabila masing-masing instansi dalam lingkup Pemerintah Daerah yang sama masih menyelenggaran kegiatan diklat aparatur. Efektivitas dan efisiensi sangat sulit terukur, masing-masing mempunyai variabel dan indikator yang berbeda-beda, oleh karena itu penerapan “one gate training centre policy” akan lebih baik apabila segera dapat dilaksanakan.

DIKLAT GUNUNG SEMPU: ANTARA REALITAS DAN HARAPAN

PENDAHULUAN
Pendidikan dan pelatihan aparatur merupakan suatu proses penting dalam rangka pengembangan sumberdaya aparatur menuju kepada tingkat profesionalisme aparatur yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam manajemen, pengorganisasian pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan aparatur merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat. Hal tersebut menjadi dasar atau landasan untuk berpijak ke arah pembangunan yang berkelanjutan, khususnya dalam pengembangan sumberdaya aparatur.
Pembentukan kelembagaan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan aparatur diharapkan dapat mempercepat proses kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi aparatur dari aspek kognitif, afektif, serta psikomotorik. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perda Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan DIY jo. Keputusan Gubernur Nomor 88 Tahun 2001 tentang Uraian Tugas dan Tata Kerja Badan Pendidikan dan Pelatihan, telah memberikan kewenangan bagi Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melaksanakan pengelolaan pendidikan dan pelatihan aparatur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan kewenangan tersebut, maka Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang dikenal juga dengan sebutan “Diklat Gunung Sempu” bertanggung jawab untuk secara profesional mengembangkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan aparatur sehingga diharapkan dapat menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan unggulan.
Lembaga pendidikan dan pelatihan aparatur yang unggul paling tidak dapat memenuhi harapan tujuan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai negeri sipil, seperti yang tercantum dalam PP. 101 Tahun 2000, sebagai berikut.
1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi.
2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat.
4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.
Tujuan diklat dalam PP. 101/2000 tersebut sudah sangat lengkap dan menyeluruh meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, aplikasinya terhadap masyarakat, serta semangat nasionalisme. Hal tersebut apabila dalam proses pencapaian tujuan diklat benar-benar dipahami secara menyeluruh diharapkan akan menjadikan Badan Pendidikan dan Pelatihan sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan aparatur unggulan, dan menjadi tantangan yang cukup berat untuk mencapainya, sehingga sikap optimis, kerja keras, keterpaduan, kebersamaan, disiplin, dan terpadu dalam setiap proses pengelolaan lembaga pendidikan dan pelatihan aparatur.
Badan Pendidikan dan Pelathan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diupayakan menjadi lembaga diklat unggulan secara semaksimal, sehingga memerlukan kesiapan berbagai sumberdaya kediklatan untuk dapat mengatasi berbagai tantangan dan kelemahan yang akan menghambat, mengingat ujung tombak peningkatan profesionalisme dan pembentukan tingkat kualitas moral aparatur terletak pada lembaga ini. Selain itu globalisasi dalam sektor pendidikan dan pelatihan menuntut lembaga pendidikan dan pelatihan di berbagai daerah, baik dalam skala regional, nasional, dan internasional untuk selalu mengejar ketertinggalan dalam hal ide-ide inovatif atau konsep, ilmu pengetahuan atau tingkat kompetensi individu, teknologi informasi, dan membangun jejaring kerja atau kolaborasi. Inovasi, pendidikan, dan kolaborasi merupakan aset berharga yang tidak terlihat dan penting sebagai sarana untuk mewujudkan lembaga pendidikan dan pelatihan menjadi unggul dan dapat bersaing di tingkat global.

REALITAS DIKLAT GUNUNG SEMPU
Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada lokasi yang strategis di atas perbukitan di kawasan Gunung Sempu, Kalurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas areal tanah adalah 5,8 hektar dengan status kepemilikan tanah merupakan bagian dari Sultan Ground.
Sarana bangunan yang telah dimililiki pada saat ini adalah gedung administrasi/sekretariat 2 lantai, ruang kelas 6 buah, ruang diskusi 4 buah asrama 2 unit lantai dengan kapasitas 128 orang, ruang makan 2 ruang besar terdiri dari 2 lantai, rumah dinas tipe 36 sejumlah 3 buah dan tipe 70 sejumlah 3 buah, masjid 1 buah, area parkir 1 buah, ruang widyaiswara 1 buah, laboratorium komputer 30 unit personal computer dan ruang perpustakaan 1 buah. Keadaan sarana bangunan sekarang dari sisi kuantitas pada saat frekuensi kegiatan diklat sedang tinggi belum memenuhi, tetapi pada saat frekuensi diklat rendah sarana bangunan yang ada telah cukup. Kemudian dari sisi kualitas pada beberapa tempat memerlukan perawatan berkala seperti kamar mandi, ruang kamar asrama, lampu penerangan, dan lain-lain.
Sarana pokok penunjang kegiatan pendidikan dan pelatihan terdiri dari 20 unit personal computer aktif, 9 unit wireless, 12 unit OHP, 1 unit faximile, 2 unit pesawat HT, 2 unit pesawat komunikasi, 6 TV Monitor, 1 unit video player, 1 unit keyboard dan speaker, 2 unit tensimeter, 30 buah AC, 3 buah timbangan badan, 7 unit LCD Projector, 21 unit personal computer Laboratorium LAN dan Internet (Laporan Tahunan 2006).
Susunan organisasi kelembagaan Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari sebagai berikut.
1. Kepala Badan.
2. Sekretaris.
a. Sub Bagian Program
b. Sub Bagian Umum
c. Sub Bagian Rumah Tangga
d. Sub Bagian Data dan Informasi Teknologi
3. Bidang Diklat Kepemimpinan
a. Sub Bidang Bidang I
b. Sub Bidang Bidang II
4. Bidang Diklat Teknis Fungsional
a. Sub Bidang Teknis
b. Sub Bidang Fungsional
5. Bidang Hubungan Antarlembaga
a. Sub Bidang Intrainstansi
b. Sub Bidang Antarwilayah
c. Sub Bidang Perpustakaan
6. Kelompok Jabatan Fungsional
Kepegawaian di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data per Februari 2006 terdiri dari pejabat struktural, pejabat fungsional widyaiswara, pejabat fungsional umum (staf pelaksana), dan pegawai tidak tetap. Dengan perincian jumlah pegawai keseluruhan sebanyak 84 orang, terdiri dari 12 orang pejabat struktural, 15 orang pejabat fungsional Widyaiswara, dan 57 orang staf pelaksana. Untuk menjaga keamanan dan kebersihan masih diperlukan tenaga honorer hansip dan jasa layanan cleaning service.
Anggaran Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2004 terealisasi sebesar Rp. 5.268.244.030,00, tahun 2005 terealisasi sebesar Rp. 5.635.776.025,00, dan tahun 2006 dianggarkan sebesar Rp. 7.587.120.535,00. Jumlah anggaran mengalami peningkatan tersebut dikarenakan adanya kenaikan gaji dan tunjangan bagi Pegawai Negeri Sipil. Selain itu ada kemungkinan mengalami perubahan setelah dilakukan redesain anggaran serta adanya dana anggaran belanja tambahan.

HARAPAN TERHADAP PILAR UTAMA KEDIKLATAN APARATUR
Dari uraian realitas sekarang di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu diupayakan pembenahan komponen-komponen utama sebagai pilar dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan yaitu kelembagaan diklat, program diklat, sumberdaya penyelenggara diklat, dan widyaiswara. Pembenahan yang terpadu dan berkelanjutan menjadi titik tolak kemajuan dan keteraturan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan.
Kondisi yang diharapkan untuk mengupayakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan unggulan adalah terpenuhinya peningkatan kualitas dan kuantitas widyaiswara, staf, sarana dan prasarana, serta manajemen untuk mendukung profesionalisme pelayanan, dan terwujudnya peningkatan peran diklat dalam menciptakan aparatur Pemda yang profesional, bermoral, berbudaya, akuntabel, inovatif, produktif, aspiratif, dan bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Dalam implementasinya banyak permasalahan yang akan menjadi hambatan terwujudnya Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan unggulan, diantaranya adalah bagaimana mengoptimalisasi fungsi sumberdaya di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?, dan bagaimana strategi untuk mendukung terwujudnya Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi lembaga unggulan?
Di lihat dari aspek kelembagaan sudah cukup akomodatif dan segala aspek ruang lingkup kegiatan penyelenggaraan diklat sudah terfasilitasi dalam struktur organisasi. Diklat Gunung Sempu sudah banyak di kenal di seluruh Wilayah Nusantara dan telah terakreditasi untuk menyelenggarakan Diklat Pim III, IV, dan Prajabatan. Beberapa diklat teknis dan fungsionalpun sudah mendapatkan pengakuan eksistensinya misalnya Diklat Outward Bound, Diklat Pengadaan Barang dan Jasa, Diklat Khusus untuk anggota DPRD, dan Diklat Transformasi Birokrasi.
Akan tetapi beberapa personil dalam kelembagaan belum sepenuhnya terisi dan didukung oleh kompetensi aparatur yang maksimal. Oleh karena itu ada hambatan dalam beberapa hal yang berhubungan dengan pengelolaan kegiatan diklat aparatur, terutama dalam menerapkan total quality management pada setiap kegiatan atau program kediklatan. Hambatan ini perlu segera diminimalisasi dan difasilitasi keinginan masing-masing personil dengan kata kunci yang harus diperhatikan yaitu keterbukaan dan kebersamaan.
Program diklat perlu direncanakan secara bersama dengan melibatkan pilar diklat sumberdaya penyelenggara diklat dan widyaiswara. Program direncanakan agar dapat memfasilitasi semua kebutuhan yang diperlukan dalam rangka pengelolaan kegitan diklat yang terpadu dan berkelanjutan. Sarana dan prasarana proses pembelajaran selalu mengikuti perkembangan teknologi informasi dengan pemeliharaan yang teratur, terawat, dan teliti. Sarana pendukung seperti ketersediaan air bersih, asrama, tempat olah raga, kelas, dan kantor perlu dijaga kebersihan dan kelengkapan operasionalnya. Monitoring berkala terhadap sarana dan prasarana perlu dilakukan secara rutin dan setiap saat diperlukan. Hal ini tentu memerlukan kesadaran, motivasi yang tinggi, serta rasa memiliki terhadap sarana dan prasarana yang ada.
Optimalisasi fungsi terhadap sumberdaya penyelenggara diklat yaitu staf pelaksana dan pejabat struktural perlu diupayakan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok masing-masing. Motivasi, kedisiplinan, profesionalisme, tindakan terhadap kesalahan, dan kesejahteraan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sumberdaya penyelenggara diklat belum sepenuhnya bekerja secara bersama, di satu sisi ada yang mendapatkan porsi pekerjaan yang lebih di sisi lain belum sepenuhnya melaksanakan fungsi dan ketugasannya, karena merasa di luar sistem atau memang tidak dimasukkan menjadi bagian dari tim.
Sumberdaya lainnya di luar penyelenggara diklat dan penting adalah widyaiswara. Beberapa widyaiswara belum sepenuhnya mempunyai komitmen yang kuat sebagai bagian dari lembaga diklat. Banyak persepsi negatif yang diterima oleh widyaiswara dari beberapa pihak yang belum mengetahui sepenuhnya ruang lingkup ketugasan seorang widyaiswara, sehingga mengakibatkan munculnya kebijakan yang sangat merugikan widyaiswara serta tentu akan berpengaruh langsung bagi out put penyelenggaraan diklat itu sendiri. Misalnya kewajiban mengajar 12 jam pelajaran, dengan alasan menyamakan ketugasan widyaiswara dengan guru, dosen, pamong belajar, penyuluh lapangan, padahal bila dipahami lebih lanjut masing-masing ada spesifikasi khusus yang tidak dapat disamakan begitu saja dan memerlukan kajian dan pertimbangan lebih lanjut lagi serta melibatkan widyaiswara.
Widyaiswara sebagai “pioneer” (semoga tidak diartikan sebagai pion yang selalu di depan dan siap untuk dikorbankan) serta aset penting dalam setiap lembaga diklat aparatur diharapkan memang harus berada di depan dan juga di setiap lini khususnya dalam memberikan materi pembelajaran, berikut lingkup persiapan yang perlu dilakukan untuk menguatkan performance penampilannya di depan dan di luar kelas. Misalnya melakukan kegiatan studi pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, pembuatan bahan ajar, modul, satuan acara pembelajaran, mengikuti diklat, penelitian, seminar, connection (studi banding ke dalam dan luar daerah, menjalin jejaring kerja, dan konsultansi ke instansi pembina/LAN RI).

PENUTUP
Diklat Gunung Sempu merupakan bagian dari sistem pengembangan sumberdaya aparatur yang sangat penting keberadaannya dalam pemerintahan. Dalam pengembangannya menuju ke arah diklat unggulan memerlukan fasilitasi baik yang berupa kebijakan, pemenuhan sarana dan prasarana, penghargaan, dan pengakuan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan kegiatan kediklatan. Antara realitas dan harapan masih terdapat kesenjangan yang menjadi hambatan dan permasalahan yang perlu segera dicarikan solusinya. Prioritas penanganan masalah dalam pengelolaan dititikberatkan terhadap empat pilar utama kediklatan aparatur, yaitu kelembagaan diklat, program diklat, sumberdaya penyelenggara diklat, dan widyaiswara, dengan landasan pada asas keterbukaan dan kebersamaan.

DATA DAN PELAPORAN: PROSES PENTING DALAM BIROKRASI

Birokrasi dituntut untuk dapat mencari data-data kebutuhan masyarakat dan melaporkannya secara terbuka dan transparan kepada masyarakat. Kegiatan tersebut merupakan rutinitas kegiatan sehari-hari yang terbagi-bagi sesuai dengan ketugasan pokok dan fungsi masing-masing secara instansional. Dari data yang diperoleh masing-masing instansi harus berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat secara profesional. Masyarakat berhak menuntut pelayanan sebaik mungkin. Oleh karena itu proses pendataan dan pelaporan mutlak harus dikuasai oleh semua sumberdaya aparatur agar proses pelayanan kepada masyarakat menjadi lancar dan semakin baik.
Laporan suatu kegiatan akan terlihat secara menyeluruh dan berkesinambungan antara organisasi pelaksanan kegiatan, instansi atau organisasi terkait, dan pelaksana kegiatan apabila laporan tersebut diselesaikan dalam suatu rangkaian sistem. Pendekatan secara sistem merupakan filsafat atau pandangan yang melihat semua kegiatan berlangsung dalam susunan yang efisien dan optimum. Pandangan akan keserasian pada akhirnya akan mengarah kepada pengoptimuman, dalam arti menjamin kecocokan yang paling layak antara sistem dan lingkungannya.
Laporan berfungsi sebagai pertanggungjawaban atas hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan, sehingga dapat diketahui pelaksanaan program/ kegiatan, faktor-faktor pendukung dan hambatan-hambatan yang dijumpai serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Laporan dapat kita lihat sebagai suatu sistem, dengan pandangan ini kita berusaha mengenali esensi, tujuan, dan hal-hal yang diperlukan dalam suatu proses penyusunan laporan suatu kegiatan. Memandang laporan sebagai suatu sistem membuat kita berhadapan dengan sejumlah komponen sub sistem. Semua itu merupakan kumpulan karena tersusun menurut rencana tertentu, dengan tujuan yang tergambar nyata. Pada akhirnya dari tersusunnya laporan yang baik dan sistemik akan diperoleh feedback atau umpan balik sebagai masukan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan suatu kegiatan suatu organisasi formal maupun non formal di masa yang akan datang.
Gambar 1. Sistem pelaporan untuk menunjukkan adanya hubungan sebab dan akibat (Hadiwidjoyo, 1983)

Metode Pencarian Data
Banyak metode pencarian data yang dapat dilakukan oleh para birokrat, salah satu metode tersebut adala metode survey. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk mempertimbangkan fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir, 2003). Metode survei merupakan salah satu jenis metode penelitian yang bersifat deskriptif untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian dalam penelitian atau suatu kegiatan.
Metode survei adalah membedah dan menguliti serta mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung. Dalam metode survei juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menghadapi situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Penyelidikan dilakukan dalam waktu yang bersamaan terhadap sejumlah individu atau unit, baik secara sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir, 2003).
Metode penelitian survei umumnya dipergunakan untuk penelitian eksploratif (exploratory reseach), penelitian deskriptif (descriptive research), dan penelitian menjelaskan (explanatory studies). Ciri khas metode penelitian survei (Mantra, 2004) adalah sebagai berikut
1. Unit analisisnya adalah individu. Apabila unit analisisnya berupa kelompok, maka anggota kelompok (individu) dipakai sebagai responden.
2. data dikumpulkan dari responden yang banyak jumlahnya (dapat menggunakan sampel) dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) terstruktur. Jumlah variabel yang dikumpulkan pada prinsipnya tidak terbatas mulai variabel dasar sampai ke variabel yang bersifat khusus.
3. Di samping data kuantitatif digunakan juga data kualitatif.

Pengolahan Data
Menurut Mantra (2004) data adalah sesuatu yang dapat dianalisis. Jadi data tersebut tidak hanya berbentuk angka-angka, tetapi juga perilaku, sikap dan lain-lain. Data dapat dibagi menjadi dua yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data adalah hasil pengamatan, manifestasi fakta, atau kejadian spesifik.
























Gambar 3. Jenis Data dan Sumbernya (Mantra, 2004)

Ada penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan penemuan yang bersifat kuantitatif, di pihak lain ada pula tujuan penelitiannya untuk mendapatkan informasi yang bersifat deskriptif kualitatif. Sering suatu penelitian membutuhkan informasi yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, sehingga membutuhkan beberapa metode pengumpulan data (Fisher, et al, 1998 dalam Mantra, 2004). Pengolahan data diterangkan lebih lanjut oleh Mantra (2004) sebagai berikut.
Data kuantitatif bersumber pada:
1. data primer yang bersumber pada hasil wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan terstruktur);
2. data sekunder yang bersumber pada hasil pendataan yang dikumpulkan oleh beberapa instansi atau lembaga.
Data kualitatif bersumber pada:
1. wawancara mendalam (indepth interviews) kepada beberapa informan untuk mendapatkan informasi yang mendalam;
2. kelompok diskusi terarah (focus group discussion);
3. observasi non partisipasi;
4. analisis isi (content analysis) dari bahan-bahan tertulis.
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya data itu perlu diolah atau dianalisis untuk mendapatkan informasi. Sebelum diolah, data yang terkumpul perlu diseleksi terlebih dahulu atas dasar reliabilitasnya. Data yang rendah reliabilitasnya digugurkan atau dilengkapi dengan substitusi. Data yang telah lulus dalam seleksi lalu diolah atau dianalisis sehingga merupakan suatu informasi yang siap untuk dievaluasi dan diinterpretasi. Data setelah diolah dapat berupa:
1. tabel frekuensi tunggal;
2. rata-rata, median, modus, koefisien korelasi, koefisien regresi, dan lain-lain;
3. grafik;
4. peta.
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Peneliti harus memastikan pola analisis mana yang digunakan. Apakah analisis kuantitatif (statistik) atau kualitatif.

Penyusunan Laporan
Hasil dari penelitian baik yang berupa pengamatan atau observasi lapangan dari seorang peneliti harus ditulis dan disajikan ke dalam laporan hasil penelitian. Dengan demikian tujuan dari penelitian tersebut dapat dibaca dan dikaji lebih lanjut, sehingga diperoleh manfaat yang bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Hasil dari suatu kegiatan atau penelitian akan menjadi sumber informasi yang perlu dipertanggungjawabkan nilai kebenarannya. Hasil penyusunan laporan dapat dipertanggungjawabkan dalam seminar atau presentasi hasil laporan. Di dalam laporan penelitian atau suatu kegiatan tidak hanya berisi hasil penelitian saja, tetapi melingkupi secara keseluruhan proses-proses yang dilaksanakan selama penelitian atau kegiatan dilaksanakan. Dalam penyusunan laporan yang baik harus dapat menjawab hal-hal substantif dan meliputi pokok pokok sebagai berikut:
Latar Belakang/ Pendahuluan (Mengapa); menguraikan tentang alasan-alasan yang mendasari mengapa kegiatan tersebut perlu untuk dilaksanakan, alasan atau permasalahan yang dihadapi. Disamping itu, disinggung pula beberapa alternatif yang diupayakan untuk memecahkan masalah tersebut serta tujuan atau harapan yang ingin dicapai melalui upaya-upaya tersebut. Salah satu alternatifnya adalah melalui kegiatan pelatihan.
Apa arti penting dari terselenggaranya kegiatan tersebut sehingga mendesak untuk segera dilaksanakan. Tingkat penting tidaknya rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Hal ini secara sepintas harus dinampakkan dalam satu alinea yang berkorelasi dengan permasalahan yang dihadapi sebagai upaya mengatasinya.
Dalam menginventarisir permasalahan-permasalahan yang dimaksud dengan permasalahan dalam hal ini mencakup beberapa rumusan yang variatif, antara lain sebagai berikut.
1. Semua hal yang sesuai substansi materinya masih diliputi kekurangpastian, sehingga rumusannya dalam bentuk tanda tanya.
2. Adanya kesenjangan antara “apa atau bagaimana yang seharusnya” dengan “apa atau bagaimana yang senyatanya”.
3. Semua hal yang sesuai substansi materinya masih memerlukan tindak lanjut berupa pengembangan.
Sistematika laporan suatu penelitian atau kegiatan, secara umum terdiri dari pendahuluan, tubuh utama, dan penutup. Secara terinci dapat terdiri dari enam bagian yaitu: pendahuluan/pengantar, kajian pustaka, metode penelitian, hasil penelitian, kesimpulan, dan daftar pustaka. Pada kenyataannya tubuh utama kerapkali terdiri dari sejumlah pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan yang dibuat dengan alasan tertentu, didasarkan pada jenis, fungsi, kronologis/ sejarah perkembangan, tingkat kepentingan, atau yang lain. Pemberian alasan tertentu itu disebut dengan penalaran atau pemikiran. Pemikiran tersebut mempunyai pola-pola tertentu yang dapat kita bedakan menjadi tiga, yaitu yang bersifat ilustrasi, bersifat analilis dan bersifat argumentatif.
Yang terpenting dalam tubuh utama adalah diupayakan dihindari terlalu banyak detail, karena hal itu mungkin dapat membelokkan gagasan yang bersifat pokok. Pandangan yang keliru sama sekali adalah jika seseorang mengira laporan yang baik ialah laporan yang tebal. Yang menentukan kebermaknaan laporan bukan tebalnya, melainkan lengkap tidaknya semua unsur yang yang diperlukan, ditambah pengarahan yang sebaik0baiknya. Itulah sebabnya pendekatan laporan sebaiknya dilakukan secara sistem sehingga dapat dikenali dari semua segi dan langkah yang diperlukan. Sistematika laporan penyelenggaraan kegiatan tersebut di atas bukanlah sesuatu hal yang baku, tetapi dapat dikembangkan berdasarkan keperluan dan jenis kegiatan dilakukan.

Penutup
Data dan pelaporan merupakan suatu proses yang sangat penting dari setiap kegiatan dalam birokrasi. Data dan laporan harus benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh aparatur selalu berkaitan dengan data dan kemudian data tersebut diwujudkan dalam pelaporan. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan kapasitas aparatur yang profesional diharapkan semua sumberdaya aparatur dapat menguasi prinsip-prinsip penting dalam mencari dan data serta bagaimana menyampaikan data tersebut dalam suatu bentuk pelaporan.

PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR DALAM DIGITAL GOVERNMENT SERVICE: SIAPKAH DIKELOLA SENDIRI?

Pelayanan kepada publik merupakan kewajiban Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang perlu ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan perkembangan teknologi, masyarakat semakin kritis menginginkan setiap proses pelayanan pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien. Pemerintah yang responsif tentu akan segera melaksanakan kebijaksanaan yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari pelayanan prima. Hal tersebut oleh Pemerintah Provinsi DIY. ditegaskan di dalam Kebijaksanaan Rencana Strategis Daerah (Renstrada) 2004 – 2008 dimana salah satu kebijaksanaan yang harus dilakukan adalah peningkatan pelayanan masyarakat dengan memanfaatkan e-government. Kemudian di dalam tolok ukur capaian tema pembangunan untuk tahun 2006 juga diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik melalui perbaikan sistem dan prosedur yang berbasis kepada teknologi informasi.
Sri Sultan HB X dalam penghantaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Arah Dan Kebijakan Umum APBD Propinsi DIY. tahun 2006, menyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus mampu menjawab tuntutan masyarakat melalui berbagai pencapaian dan kegiatan yang dituangkan di dalam APBD sebagai upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan, memberdayakan perekonomian masyarakat, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Kebijakan menggunakan open source di Pemprov DIY sejalan dengan kebijakan Pemerintah RI yang mendeklarasikan IGOS (Indonesia Goes to Open Source) tahun 2004. Membeli perangkat lunak Microsoft yang mahal, anggaran bisa dialihkan untuk pelatihan Linux. penggunaan Linux itu mensyaratkan pelatihan bagi kalangan birokrasi yang selama ini terbiasa dengan Microsoft. Menggunakan perangkat lunak open source dalam proyek Digital Government Services atau DGS untuk menghemat anggaran
Digital Government Service merupakan salah satu upaya pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia pemerintahan, yang selanjutnya sering juga dikenal dan disebut dengan e-Government. E-Governmen menjadi salah satu topik yang sering dibahas dalam diskusi, seminar, lokakarya, dan media masa. Topik ini menjadi semakin menarik dan populer setelah pemerintah pusat dan daerah meresponnya menjadi bagian dari proses pelayanan publik yang harus dilaksanakan di era otonomi daerah sekarang ini.
Selain kurang siapnya sarana dan prasarana, keterbatasan sumberdaya keuangan, persepsi instansional yang beragam tentang pelayanan pemerintah secara digital, yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah seberapa jauh tingkat kesiapan sumberdaya aparatur dalam mengelola Digital Government Service. Tolok ukur yang dapat kita lihat pada saat ini adalah komputer sebagai perangkat utama dalam Digital Government Service masih berfungsi sebagai sarana mengetik dan menyimpan data. Hal inipun belum secara optimal dipergunakan, artinya belum semua sumberdaya aparatur familier dengan komputer, komputer sebagai tempat penyimpanan data masih kurang tertata dan tertib. Selain itu begitu ada kendala sedikit terhadap operasional komputer belum semua personil yang langsung dapat mengatasi permasalahan komputer tersebut. Hal ini akan menjadi kendala besar nantinya apabila pelayanan pemerintah dilakukan secara digital dilakukan maka akan membuat proses pelayanan menjadi terhambat, tidak menjadi semakin cepat tetapi menjadi bertambah lama.
Oleh karena itu dalam rangka menyiapkan sumberdaya aparatur Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu kiranya dilaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang mengarah kepada digital government service. Diklat ini penting dilaksanakan untuk mengantisipasi kesiapan aparatur dalam mengakses semua informasi, data, dan proses pelayanan publik secara digital. Dengan pendidikan dan pelatihan yang mengarah terwujudnya Digital Government Service diharapkan akan memberikan sebuah pandangan baru bagi aparat pemerintah dalam memahami konsep dan implementasi Digital Government Service (DGS). Secara khusus diharapkan dapat tersosialisasinya kerangka global bagi langkah Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kepemerintahan dalam era e-government, tersosialisasinya dan pemahaman lingkup digital government service dalam institusi organisasi kepemerintahan, tersosialisasinya teknologi pendukung digital government service, dan tertingkatkannya ketrampilan sumberdaya aparatur dalam pengelolaan teknologi secara digital.
Lingkup materi dalam rangka pengembangan sumberdaya aparatur yang mengarah kepada Digital Government Service menjadi penting untuk diuraikan disini, mengingat kegiatan pendidikan dan pelatihan yang sekarang sedang dan sudah dilaksanakan terkesan diluar kontrol perencanaan yang terpadu dan berkelanjutan. Diklat hanya sebatas memberikan aspek wacana ilmu pengetahuan tetapi aspek ketrampilan belum dapat tersentuh secara mendalam. Lingkup materi kediklatan yang terpadu
Berikut ini adalah lingkup materi yang perlu dijadikan bahan kajian dalam rangka pengembangan sumberdaya aparatur yang mengarah kepada Digital Government Service (Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, http://www.forum-rektor.org, dengan modifikasi penulis).
(1) Organisasi dan Sistem Informasi
Materi organisasi dan sistem informasi berisi konsep, teori, metodologi, dan perangkat bantu baik dari sisi manajemen maupun sistem informasi untuk mengidentifikasi faktor sukses, atau dampak sistem informasi pada organisasi. Dari lingkup organisasi dan sistem informasi tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa sub materi sebagai berikut:
• Perencanaan sistem informasi strategis
• Isu-isu yang berkaitan dengan penerimaan elemen organisasi terhadap penerapan
• Kebijakan dan strategi pengembangan dan penerapan DGS di organisasi (Organization and Human Capital Development).
• e-Procurement dan supply chain management
• Model-model e-Business, Bussiness Process, dan Strategic Mapping – khususnya terkait pemanfaatan teknologi Web Service
• Sistem pendukung keputusan dan intelejensia bisnis
• Metode evaluasi terhadap Sistem Informasi dan Balanced Scorecard (Quality Management dan ISO).
• Faktor-faktor penentu keberhasilan Sistem Informasi dalam mendukung pencapaian VISI dan Misi Organisasi (Customer Relationship Management)
• Manajemen perubahan dan riset perilaku (Knowledge Management).
• Sistem outsourcing dan isu-isunya
• Audit sistem informasi
• Penerapan sistem informasi di beragam bidang organisasi dan kehidupan (Pendidikan, Pemerintahan, Kesehatan, Manufaktur, Bisnis perdagangan, dsb )
(2) Teknologi dan Sistem Informasi
Materi ini merupakan kolaborasi antara teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan sistem informasi. Dari kolaborasi tersebut kemudian bagaimana aplikasinya ke dalam suatu organisasi, serta perannya dalam pengembangan sistem informasi. Dari lingkup teknologi dan sistem informasi tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa sub materi sebagai berikut:
• Infrastruktur dan konvergensi teknologi informasi
• Sistem informasi skala enterprise (ERP, EAI, CRM, SCM)
• Aplikasi System Information Geography dan Remote Sensing Technology (citra satelit dan foto udara) dalam manajemen pelayanan data publik.
• Teknologi web services dan Isu-isunya
• Inovasi dalam analisis, perancangan, pengembangan dan perawatan sistem informasi.
• Manajemen data berkaitan dengan kualitas, keterpaduan, dan penambangan data.
• Sistem informasi manajemen bergerak
• Sistem jejaring tersebar
• Keamanan teknologi informasi
• Pendekatan pengembangan berbasis komponen dan gunaulang perangkat lunak
• Inovasi penggunaan informasi (misalnya Telemedicine)

(3) Sumberdaya Manusia dan Sistem Informasi
Sistem layanan elektronik di beberapa sektor bisnis dan perdagangan telah mewujudkan sistem pelayanan 24 jam. Penyediaan akses langsung pada informasi, pengetahuan dan layanan telah menambah kompleksitas implementasi dan integrasi komponen-komponen sistem. Sistem informasi dikembangkan pada lingkungan organisasi yang memiliki beban cukup berat. Sosio-teknik sering dapat memberikan sentuhan alamiah pada sistem informasi. e-Government dan ketatapemerintahan. Kompleksitas tersebut memerlukan kesiapan sumberdaya manusia yang meliputi aparatur pemerintah maupun masyarakat sendiri. Dari lingkup sumberdaya manusia dan sistem informasi tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa sub materi sebagai berikut:
• Pengembangan SDM Aparatur dalam bidang teknologi informasi.
• Teknik meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam bidang digital
• Kajian filosofis terhadap teknologi informasi dan komunikasi
• Sistem Bekerja jarak jauh
• Pendidikan tentang sistem Informasi (kurikulum, metode pengajaran, metode evaluasi )
• Model belajar dengan memanfaatkan internet
• Interaksi manusia-mesin
• Komunitas maya
• Isu-isu dari kepercayaan dan privasi
• Isu-isu modernitas dan globalisasi
• Cyberlaws
• Teori sosial pada sistem informasi

PENUTUP
Pengembangan e-government dalam Digital Goverment Service memerlukan tahapan pelaksanaan yang terpadu dan berkelanjutan, mulai dari tahapan: penyiapan sumberdaya aparatur, penyajian informasi, one-way interaction, two-way interaction, dan transaction antara pemerintah dengan pemerintah intern dan ekstern, masyarakat, serta dunia usaha lainnya.
Pengembangan SDM sebagai persiapan menuju e-gov. mutlak diperlukan pelatihan dengan prioritas urutan sebagai berikut:: Basic Computer, Basic Operating System, Computer Application, Sarana Aplikasi Komputer, Internet, dan Sistem Informasi Manajemen Aplikatif lainnya. Digital Government Service dapat terwujud apabila sumberdaya aparatur sudah siap menguasai teknologi informasi secara digital mulai dari pembuatan soft ware, pengelolaan hard ware, dan manajemen yang terpadu.
Penyiapan hard ware dan soft ware sebagai sarana pelayanan pemerintah secara digital diperlukan dengan kapasitas dan kualitas semaksimal mungkin, hal ini menghindari masa purna pakai produk elektronik yang sangat cepat apabila dalam penggunaannya tidak dioptimalkan.

ANALISIS POLA PERMUKIMAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ABSTRAK
Analisis pola permukiman sangat bermanfaat untuk melihat pola persebaran jenis penggunaan lahan yang dipengaruhi dinamika kehidupan masyarakat serta proses interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan, serta proses interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan. Bentuk permukiman yang berkembang di DIY. secara regional berbentuk radial mengelilingi Gunung Merapi, kemudian menjadi linear dan terserak (dispersed). Dari analisis tersebut dapat diperkirakan kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan karena adanya pertumbuhan pola permukiman di suatu kawasan, sehingga dalam proses perencanaan lingkungan permukiman selanjutnya dapat diprioritaskan program-program pengembangan suatu wilayah. Semakin maraknya pembangunan perumahan, jalan, pasar, perguruan tinggi menciptakan pusat kegiatan, yang diikuti oleh perkembangan sarana dan prasarana pokok dan penunjang yang diperlukan oleh masyarakat di sekitar kawasan pembangunan. Konversi lahan perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari seluruh komponen, yaitu pemerintah, masyarakat, swasta serta lembaga sosial lainnya. Sehingga manajemen dapat dilaksanakan secara terpadu, memberdayakan masyarakat dan berkelanjutan.

Kata Kunci:
pola permukiman, radial, linear, terserak, pusat kegiatan, prioritas program pengembangan wilayah, terpadu, berkelanjutan

Pentingnya Perencanaan Lingkungan Permukiman
Perencanaan lingkungan permukiman sangat penting dan menentukan dalam pengembangan suatu wilayah. Penggunaan lahan merupakan suatu proses dan sekaligus produk yang menyangkut semua sisi kehidupan manusia, dengan demikian situasi dan kondisi yang akan berkembang dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, aspek fisik dan biotis akan berkaitan langsung dengan pemanfaatan lahan. Pola persebaran jenis penggunaan lahan dipengaruhi oleh adanya dinamika kehidupan masyarakat, serta proses interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan sehingga menciptakan kekhasan suatu pola.
Suatu wilayah permukiman dapat tumbuh dan berkembang sendiri secara alamiah tanpa adanya campur tangan dari pengelola atau pemerintah. Keadaan ini sering mengakibatkan wilayah mengalami pertumbuhan tanpa terkendali dan tanpa arah, yang cenderung terjadi secara sporadis dan tak terkontrol. Pembangunan atau pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan serta selera dari masing-masing individu atau masyarakat tanpa harus mengacu kepada suatu aturan yang perlu diikuti. Untuk jangka pendek hal demikian tidak menjadi permasalahan yang berarti, akan tetapi dalam jangka panjang hal tersebut dapat merugikan. Karena wilayah permukiman tumbuh dan berkembang secara tidak terarah dan tidak terkendali, maka memerlukan berbagai upaya dan dana yang sangat besar untuk menatanya kembali. Untuk memperkecil dampak tersebut diperlukan upaya campur tangan pemerintah sedini mungkin guna mengarahkan dan mengendalikan perkembangan wilayah agar perkembangan wilayah tersebut memberikan nilai manfaat yang optimal bagi masyarakat secara keseluruhan, dalam arti tetap terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Fenomena seperti di atas hampir terjadi di semua wilayah di Indonesia dalam intensitas perkembangan yang berbeda. Pengembangan wilayah dapat terjadi karena ada atau tidaknya campur tangan stakeholders, sedangkan pembangunan wilayah terjadi karena adanya campur tangan dari stakeholders terutama pemerintah.Ada wilayah yang tumbuh sangat cepat dan ada wilayah yang tumbuh dengan lambat. Pertumbuhan suatu wilayah sangat berkaitan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan yang berkembang di wilayah tersebut. Kegiatan dan pertumbuhan penduduk tersebut sebagai akibat adanya dinamika masyarakat dalam upaya mencukupi seluruh keperluan hidupnya baik jasmani maupun rohani, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Implikasi dari pemenuhan kebutuhan tersebut perlu diwaspadai, salah satunya adalah permukiman.
Analisis Pola Permukiman
Di dalam melakukan suatu analisis pengembangan wilayah, permukiman merupakan salah satu faktor penting untuk dikaji dalam suatu analisis sistem permukiman. Keberadaan permukiman pada wilayah akan mempengaruhi situasi dan kondisi lingkungan wilayah yang bersangkutan, baik terhadap aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupun aspek kondisi fisik alam dan aspek biotik. Artinya pengaruh keberadaan permukiman akan menciptakan suatu sistem keterkaitan yang luas. Salah satu pendekatan yang diperlukan dalam pengembangan suatu wilayah atau perencanaan lingkungan permukiman adalah dengan menganalisis sistem permukiman dengan maksud untuk mengkaji hal-hal sebagai berikut.
1. Sebaran dari konsentrasi kegiatan permukiman perdesaan serta kaitannya dengan kegiatan-kegiatan produksi di sekitarnya.
2. Sistem pusat-pusat permukiman perkotaan/sistem kota mencakup: fungsi kota (pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan sosial, ekonomi dan jasa transportasi), hirarki kota (sebagai pusat kegiatan nasional, wilayah dan lokal), serta keterkaitan antarkota, antara kota dengan kawasan produksi/kawasan perdesaan yang dipengaruhi oleh pola jaringan transportasi.
Analisis pola permukiman merupakan salah satu model analisis sistem permukiman, yang memberikan gambaran tentang karakteristik satuan permukiman/pusat permukiman yang ada dimana penduduk tinggal dan melakukan kegiatan dan melakukan kegiatan sosial ekonomi yang memberikan share atau kontribusi terhadap pembangunan wilayah/kawasan. Analisis pola permukiman dilakukan dengan menggunakan dua peralatan analisis dasar yaitu: analisis pertumbuhan permukiman (analisis hirarki) serta analisis fungsi permukiman.
Perguruan Tinggi, sebagai salah satu Contoh Pemicu Perkembangan Wilayah
Setiap pusat-pusat kegiatan masyarakat atau keramaian, seperti kantor-kantor pemerintah, perguruan tinggi, perumahan, dan perumahan yang berada di DIY. memberikan pengaruh dan memicu pertumbuhan permukiman di sekitarnya. Pada waktu sebelum pengembangan wilayah pada suatu kawasan dilaksanakan atau pusat-pusat kegiatan masyarakat tersebut berkembang, pertumbuhan permukiman berjalan dengan normal. Di wilayah DIY. perkembangannya mengikuti pola permukiman radial yang berkembang ke arah pola permukiman linear.
Daerah pusat kegiatan (central business district). mempengaruhi dinamika masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Park (1936) dalam Hadi Sabari Yunus (2000), masyarakat manusia terorganisir ke dalam 2 tingkat yaitu natural dan kultural. Pada tingkat natural ini masyarakat secara alamiah mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan tempat untuk tinggal, mengembangkan keturunan, dan membutuhkan tempat untuk mencari makan. Kemudian proses ini berkembang semakin kompleks ke arah tingkatan kultural, karena manusia tidak lagi hanya dipandang sebagai makhluk hidup saja tetapi dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang mempunyai kekuatan mencipta, berkarsa, berkarya, yang selalu berkembang baik dalam kaitannya dengan hubungan manusia (baik individu/grup) dengan manusia lain, dengan lingkungannya maupun dengan Tuhannya.
Dengan terciptanya pusat kegiatan baru tersebut masyarakat sekitar memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan dilakukan masyarakat sekitar wilayah pengembangan. Sebagai contoh dengan tumbuhnya pusat kegiatan perguruan tinggi, masyarakat kemudian memanfaatkan peluang dengan mendirikan warung atau rumah makan. Mahasiswa memerlukan kebutuhan akan makanan secara cepat dan praktis, sehingga pola-pola makanan siap saji (fast food), warung-warung kaki lima, restoran berkembang membentuk pola permukiman baru di sepanjang jalan di sekitar lokasi kampus. Keberadaan rumah kos mahasiswa berkembang secara permanen pada lahan-lahan terbuka, bahkan para pengusaha yang berasal dari luar wilayah berdatangan melakukan investasi pembelian tanah untuk didirikan sebagai bangunan kos kontrakan dengan jumlah kamar yang banyak. Masyarakat sekitar yang merupakan masyarakat perdesaan terpengaruh pula untuk membangun tiga atau lima kamar untuk dikontrakkan. Bentuk permukiman yang semula tradisional berkembang menyesuaikan ke bentuk permukiman yang praktis untuk kontrakan. Luas ruangan di dalam rumah yang semula lebar dipetak-petak terbagi menjadi kamar-kamar untuk memenuhi kebutuhan kontrakan yang mengalami kecenderungan terus meningkat. Permukiman makin meluas dan menutupi lahan di kawasan ini.
Usaha-usaha retail, barang-barang kelontong, foto copy dan penjilidan, alat-alat tulis, super market, cuci motor-mobil, service motor-mobil dan lain-lain mengalami pertumbuhan pesat membentuk permukiman permanen maupun non permanen. Pertumbuhan permukiman secara cepat mengikuti pola linear di sepanjang jalan maupun gang-gang yang menuju ke arah rumah kontrakan para mahasiswa.
Perkembangan pola permukiman tersebut merupakan konsekuensi sebagai sarana pemenuhan fasilitas para mahasiswa, dosen dan karyawan. Permukiman pada kawasan di sekitar kampus pada awal sebelum kampus tersebut didirikan merupakan bentuk permukiman perdesaan, jauh dari permukiman perkotaan. Pusat keramaian dan kegiatan terdekat dengan lokasi kampus tersebut lama kelamaan akan menjadi satu dan terjadi perubahan yang sangat cepat, dimana dilihat dari suasana permukiman masih perdesaan tetapi gaya kehidupan sudah bernuansa perkotaan. Keadaan seperti ini sangat disenangi oleh para eksekutif, pengusaha dan masyarakat kota, mereka telah jenuh dengan suasana kota yang bising, padat dan penuh dengan polusi. Suasana perdesaan namun sarana dan fasilitas perkotaan semua terpenuhi akan memberikan kenyamanan, sehingga bermunculan rumah tempat tinggal baru dengan arsitektur modern dalam perumahan terpisah sendiri maupun dalam bentuk perumahan real estate mulai dari komplek perumahan sederhana, menengah maupun mewah. Mengikuti pertumbuhan akibat adanya perguruan tinggi, perkembangan akhirnya adalah membentuk pola permukiman yang beragam dan kompleks mulai dari linear mengikuti jalan dan gang di sekitar wilayah kampus, maupun pola permukiman yang terserak (dispersed) sebagai akibat tumbuhnya lingkungan baru dari komplek perumahan, kontrakan dan fasilitas penunjang pelayanan lainnya.
Pertumbuhan permukiman akan terus terjadi beringingan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat. Hal ini harus dilakukan perencanaan sedini mungkin terhadap kemungkinan pertumbuhan pola permukiman yang baru, perencanaan lingkungan permukiman dilakukan untuk mengurangi resiko dampak negatif yang akan dapat ditimbulkan dengan adanya pertumbungan permukiman. Pemerintah, masyarakat, swasta dan lembaga sosial lainnya harus secara terpadu memberikan kontrol terhadap pertumbuhan permukiman ini, mengingat permasalahan yang akan ditimbulkan sangat kompleks. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam tindakan kebijakan perlu dibuat dengan memperhatikan aspek lingkungan, dan harus dilaksanakan secara konsekuen dan penuh rasa tanggung jawab.
Efektivitas Pola Permukiman
Pola permukiman yang tumbuh dalam setiap pengembangan wilayah sangat potensial mengalami perkembangan dengan pesat. Hal ini dimungkinkan karena sudah adanya sarana prasarana fasilitas yang mendukung kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan minimal sudah tersedia dan mudah dijangkau, yaitu listrik, air minum, kantor pos, bank, kesehatan, telepon, pasar dan pendidikan. Pola jaringan tansportasi tersedia, sehingga sarana aksesibilitas dapat menjangkau dan meningkatkan keterkaitan fungsional dan ekonomi antar wilayah, antar kawasan, antara wilayah dengan kawasan produksi baik dalam hal pengumpulan hasil produksi, pusat kegiatan jasa transportasi dan pusat distribusi barang dan jasa merupakan sarana penghubung yang membuka akses dan peluang pola permukiman untuk selalu berkembang.
Tingkat pelayanan prasarana transportasi yang ada sekarang mempunyai kecenderungan meningkat terus, hal ini terlihat mulai nampak gejala terjadi kemacetan apabila melalui jalun di sekitar wilayah permukiman. Masyarakat mudah memenuhi kebutuhan hidupnya karena telah tersedia, tetapi keterbatasan dalam hal ekonomi memungkinkan ketersediaan sarana dan prasarana tadi menjadi tidak efektif untuk dimanfaatkan. Hal ini perlu diperhatikan dalam perencanaan lingkungan permukiman yang terpenting adalah bagaimana memberdayakan potensi masyarakat sekitar untuk memperoleh secara langsung manfaat tersebut dalam bentuk wujud yang nyata, menuju kepada peningkatan pendapatan serta keadilan sosial.
Komitmen bersama dalam perencanaan diperlukan untuk menekan perkembangan wilayah yang semula perdesaan ini tetap akan dipertahankan sebagai wilayah perdesaan (rural) yang mempunyai ciri mata pencaharian masyarakat agraris lebih dari 25% dan kepadatan penduduk kurang dari 50 juta per hektar, atau mau ditingkatkan menjadi wilayah perkotaan (urban).
Risiko Lingkungan
Perkembangan pola-pola permukiman dalam suatu wilayah akan membawa risiko yang dapat merugikan sistem kehidupan. Risiko lingkungan tersebut merupakan dampak negatif akibat tidak terkontrolnya pengembangan suatu wilayah, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Perubahan konversi lahan yang semula agraris menjadi non agraris merupakan resiko paling penting dan harus diupayakan untuk selalu dikontrol dan dikendalikan, agar ketersediaan bahan pokok makanan bagi masyarakat khususnya di wilayah sekitar dapat terpenuhi.
2. Perubahan lahan menjadi permukiman akan mengurangi vegetasi dan merusak habitat spesies baik flora maupun fauna, sehingga ekosistem menjadi tidak stabil karena terganggunya keseimbangan dan putusnya sistem ekologi kehidupan dan rantai makanan.
3. Berkurangnya vegetasi dan penutupan lahan menyebabkan aliran permukaan (run off) semakin cepat, sehingga proses infiltrasi atau meresapnya air hujan ke dalam tanah menjadi terhambat.
4. Secara geografis perkembangan wilayah permukiman pada lereng atas - tengah Gunung Merapi perlu dikontrol terus menerus, sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan pusat kegiatan di wilayah ini akan tidak efektif dan akan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan hidup. Kawasan ini merupakan daerah tangkapan hujan (catchment area) yang berguna untuk memenuhi cadangan air bawah tanah terhadap daerah di bawahnya.
5. Pengambilan air bawah tanah yang berlebihan dalam setiap kawasan permukiman menyebabkan berkurangnya cadangan air bawah tanah, sehingga perlu penyadaran kepada masyarakat untuk berupaya menjaga kelestariannya.
6. Dengan banyaknya bermunculan perumahan-perumahan terutama yang bersifat eksklusif dan mewah, menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang kalau tetap dibiarkan akan menciptakan kerawanan sosial dan konflik sosial.
7. Sanitasi lingkungan dalam setiap pengembangan wilayah permukiman perlu dikelola dengan seksama, agar di kemudian hari tidak menimbulkan pencemaran yang dapat ditimbulkan dari sampah, limbah rumah tangga, dan bakteri coly.

KESIMPULAN
Perencanaan lingkungan permukiman sangat diperlukan dalam proses pembangunan agar dampak yang mungkin dapat terjadi akibat adanya permukiman dapat dikurangi. Wilayah pengembangan di bagian lereng atas - tengah Gunung Merapi DIY. perlu mendapatkan perhatian yang khusus terhadap ketersediaan cadangan air bawah tanah. Demikian pula dengan ketersediaan lahan untuk pertanian diperlukan untuk menjaga kestabilan jumlah pangan.
Penyebaran pola permukiman perkembangannya terjadi karena adanya pusat-pusat kegiatan. Pusat kegiatan tersebut dapat berupa perguruan tinggi, industri, pasar, pusat-pusat pemerintahan, dan perumahan. Bentuk pola permukiman yang berkembang di wilayah DIY. secara regional mengikuti pola radial mengelilingi Gunung Merapi, kemudian berkembang menjadi linear mengikuti jalan yang menghubungkan antarwilayah dan antarkegiatan dalam dinamika kehidupan. Terdapat pula bentuk pola permukiman yang terserak atau tidak teratur sebagai perkembangan akhir dari pertumbuhan permukiman.
Perkembangan pola permukiman dapat menggeser penduduk asli yang umumnya mempunyai pekerjaan sebagai petani, hal ini perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial. Demikian juga dengan perubahan tata guna lahan dari persawahan, ladang, kebun menjadi permukiman perlu dibatasi dan dikontrol untuk memberikan katersediaan bahan pangan dan ruang lahan terbuka. Akhirnya yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam setiap pengembangan permukiman di wilayah DIY. perlu dikendalikan dan dikaji secara mendalam manfaatnya terlebih dahulu dibandingkan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai sistem penyangga kehidupan.

FALSAFAH HAMEMAYU HAYUNING BAWONO

Abstrak
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai keunikan, kekhasan dan spesifikasi kebudayaan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang merupakan visi dari Kraton Yogyakarta telah diadopsi menjadi filosofi pembangunan daerah yang kemudian dikembangkan menjadi Budaya Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso (Selaras-Menjaga Kelestarian dan Keselarasan Hubungan dengan Tuhan, Alam, dan Manusia), Dharmaning Satrio Mahanani Rahayuning Nagoro (Ahli Profesional, Pelayanan Prima, Teladan-Keteladanan), Rahayuning Manungso Dumadi Karono Manungsane (Akal Budi Luhur, Jati Diri/Pribadi yang Berbudi Luhur). Budaya pemerintahan tersebut sebagai wujud tanggung jawab yang harus diupayakan untuk dapat terpenuhi oleh setiap aparatur pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebudayaan yang berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta ditandai dengan adanya Kraton Yogyakarta memberikan nuansa khusus terhadap jalanya pemerintahan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap kegiatan pembangunan tidak dapat dilepaskan dari landasan filosofi hamemayu hayuning bawana yang sangat peduli lingkungan hidup untuk menuju arah pembangunan yang berkelanjutan.
Kata kunci: hamemayu hayuning bawana, budaya pemerintahan, peduli lingkungan hidup, berkelanjutan.

Kraton Yogyakarta dan Lingkungan Hidup
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai ciri sangat khas karena keberadaan Kraton Yogyakarta yang tidak bisa dilepaskan dengan jalannya pengelolaan pemerintahan sekarang ini. Kraton merupakan warisan budaya berharga yang dapat dijadikan acuan dalam mengkaji konsep-konsep dasar pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya aparatur pemerintah sebagai khalifah-pamong, nayokoning projo dan pemegang kendali jalannya pemerintahan di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Konsep dasar Kraton Yogyakarta dalam mengelola lingkungan hidup sudah tercermin sejak keberadaan Kraton Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 13 Februari 1755. Secara garis besar ada tiga aspek yang mendapatkan perhatian Kraton Yogyakarta dalam mengelola lingkungan hidup, yaitu aspek abiotic (fisik), biotic (hayati) dan culture (politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya). Konsep dasar pengelolaan lingkungan hidup tersebut manfaat dan eksistensinya sampai saat ini masih dirasakan dan sering digunakan sebagai rujukan dalam perkembangannya.
Penataan lingkungan fisik Kraton Yogyakarta merupakan konsep tata ruang yang yang digagas dan dilaksanakan Pangeran Mangkubumi, dikenal dengan konsep sumbu nyegara gunung. Di lapangan diwujudkan dengan adanya Samudera Indonesia, tanda gardu pandang Gedong Krapyak, situs kraton, tugu dan tanda alami gunungapi Merapi. Poros penataan yang merupakan sumbu bayangan digunakan sebagai pedoman arah dan perlambang yang diramu dari paduan faham Hindu-Islam yang dapat dimaknai sebagai jalan yang lurus menuju kehidupan akhirat. Dengan menempatkan gunung pada posisi sakral pada bagian atas (utara) dimaksudkan agar pada wilayah tersebut diperlakukan secara baik karena merupakan kawasan penyangga atau kawasan lindung yang bermanfaat bagi wilayah di bawahnya, sebagai sumber air bawah tanah dan keanekaragaman hayati. Kemudian posisi tengah ditandai dengan adanya pusat institusi ditandai dengan Bangunan Kraton, Masjid Agung dan Kepatihan. Pusat perdagangan diwujudkan dengan Pasar Beringharjo dan pertokoan di sekitarnya. Jalur transportasi diwujudkan dengan jaringan jalan, jalur hijau dan ruang terbuka dengan alon-alon dan tanaman di tempat-tempat yang ditentukan. Perumahan diwujudkan dengan rumah dinas pangeran dan pejabat tinggi kraton di sekitar kraton (Suhardjo, 2004). Pada bagian bawah (selatan) terdapat samodera yang dalam konsep dasar tata ruang tersebut dikenal dengan jalanidhi atau palemahan yang merupakan daerah yang harus dilindungi oleh pawongan atau Kraton.
Pengelolaan hayati yang telah dilakukan oleh Kraton yang bertujuan melestarikan keanekaragaman hayati ditandai dengan penanaman pepohonan tertentu yang mempunyai simbol-simbol khusus dan manfaat tertentu. Misalnya tanaman kluwih (Ortho corpus communis) yang bermakna mempunyai kemampuan lebih (linuwih), tanaman mangga lokal kuweni (mangifera adorata) yang dahulu ditanam di sekeliling alun-alun selatan, melambangkan bahwa ketika remaja perlu diberi fasilitas untuk memupuk keberanian (wani).
Pengelolaan budaya terkait dengan permasalahan politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya. Aspek kultural ini merupakan salah satu aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Karena berawal dari kegiatan sosial budaya ini maka aspek hayati dan fisik dapat menjadi ancaman terhadap kondisi alami serta keanekaragaman hayati yang ada di suatu wilayah. Program pelestarian fungsi lingkungan hidup akan berhasil dengan baik apabila aspek kultural dapat dikelola dan dikendalikan sebatas fungsi yang diinginkan sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan yang ada. Kraton Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan jawa, secara jelas merumuskan visi dan misi pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan dengan kalimat Hamemayu Hayuning Bawana yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Provinsi DIY sebagai dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi DIY. dan dikembangkan lagi menjadi Budaya Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Budaya Pemerintahan
Dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat (1) diterangkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan, perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lain. Lingkungan hidup memerlukan pengelolaan yang sistematis dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dunia ini, agar tercipta suatu kondisi dimana satu komponen dengan komponen yang lain mempunyai hubungan yang sinergis, saling kebergantungan, saling memerlukan, saling toleransi, saling asah, asih dan asuh.
Aparatur pemerintah adalah salah bagian komponen lingkungan hidup yang penting. Pemerintah Provinsi DIY. berupaya mewujudkan budaya pemerintahan ke dalam bagian proses interaksi antar komponen lingkungan. Berawal dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawono yang berarti menjunjung tinggi kelestarian dunia. Merupakan cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pemerintah Provinsi DIY sebagai khalifah-pamong, nayokoning projo perlu berpedoman nilai-nilai prinsip yang dikembangkan menjadi budaya pemerintahan sebagai berikut:
 Rahayuning Bawono Kapurbo Waskitaning Manungso, yang berarti kelestarian dunia itu berawal dari kewaspadaan manusia. Kewaspadaan akan adanya degradasi lingkungan hidup perlu ditanamkan kepada setiap aparatur pemerintah Provinsi DIY, sehingga dalam setiap perencanaan kegiatan pembangunan harus mempertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup menuju kepada keselarasan. Selaras dalam arti menjaga kelestarian dan keselarasan hubungan dengan Tuhan, alam dan manusia
Indikator perilaku yang diharapkan pada setiap aparatur adalah:
- Taqwa, taat, dan patuh pada nilai-nilai ajaran agama.
- Mencintai lingkungan hidup dengan peduli dan menjaga lingkungan alam sekitarnya.
- Memelihara kebersihan dan keindahan lingkungan kerja dan lingkungan hidupnya.
- Menjaga hubungan yang harmonis dengan keluarga, rekan kerja, dan pelanggannya.
 Dharmaning Satrio Mahanani Rahayuning Nagoro, yang berarti Dharma bhakti khalifah pamonglah sokoguru kesejahteraan Negara. Aparatur sebagai abdi masyarakat berkewajiban mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sehingga dapat menjadi seorang ahli profesional, mempunyai kompetensi dan komitmen terhadap pekerjaannya (matang pribadi, tugas dan kerjasama), agar dapat memberikan pelayanan prima yaitu dapat memberikan pelayanan lebih dari yang diharapkan pelanggan. Dan diharapkan menjadi teladan, yaitu dapat dijadikan panutan/sebagai suri tauladan/contoh oleh lingkungannya.
Indikator perilaku ahli profesional adalah:
- Bertanggungjawab terhadap pekerjaannya.
- Mempunyai komitmen yang tinggi dalam melakukan pekerjaan.
- Selalu ingin mencapai yang terbaik dengan bekerja secara winasis (smart)
- Disiplin dan tepat waktu.
- Cermat dalam bertindak.
- Bertindak secar efektif dan efisien.
- Mempunyai kreativitas dalam bekerja.
Indikator perilaku pelayanan prima adalah:
- Menempatkan kepentingan pelanggan di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
- Mengantisipasi kebutuhan pelanggan.
- Membangun kerjasama yang produktif.
- Melayani pelanggan dengan ikhlas.
- Simpati, Empati, Mutual Respect, Budi Bahasa Serasi, Akrab, Hangat (SEMBAH).
Indikator perilaku teladan-keteladanan adalah:
- Menjadi role model/teladan dalam perilaku.
- Menjalankan perannya secara adil dan arif bijaksana.
- Menjadi motivator, pendorong kemajuan.
- Menjadi pamong, pembimbing yang suka memantau.
 Rahayuning Manungso Dumadi Karono Kamanungsane, yang berarti keluhuran derajat manusia terjadi karena budi pekerti, jiwa rasa perikemanusiaan. Aparatur pemerintah diharapkan mempunyai sikap dan perilaku yang luhur. Keluhuran jati diri seseorang terjadi karena perikemanusiaanya. Indikator perilaku aparatur untuk dapat mencapai budaya pemerintahan yang diinginkan adalah:
- Sadar akan rasa salah ataupun dosa
- Menjunjung tinggi integritas (jujur, dapat dipercaya)
- Taat terhadap norma agama dan hukum
- Menjunjung tinggi etika (mempunyai rasa malu)
- Berkomunikasi dengan santun, empati dan dapat menerima masukan.
- Berpikir jauh ke depan dengan melihat peluang adanya inovasi.
- Adaptif terhadap perubahan
- Sikap LUWES: Layanilah Ulah orang lain Walau.... dengan Empati, supaya dapat Simpati.
Makna yang sangat dalam dan luhur dari filosofi dasar masyarakat Jawa yaitu Hamemayu Hayuning Bawono, telah diupayakan dan dilaksanakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang kemudian diteruskan oleh Gubernur DIY sekarang ini. Filosofi tersebut menjadi dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka pencapaian visi, yaitu terwujudnya pembangunan regional sebagai wahana menuju kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan ketahanan sosial budaya dan sumberdaya berkelanjutan.
Budaya sangat dipegang teguh dan mendapatkan perhatian yang utama dalam setiap kegiatan pembangunan di wilayah Provinsi DIY. Kraton sebagai pusat kebudayaan memberikan nuansa khusus terhadap jalannya pemerintahan yang didukung penuh oleh masyarakat. Kebudayaan yang menurut Koentjaraningrat (1980) didefinisikan sebagai suatu keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar, diyakini sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat dan dalam rangka memelihara lingkungan hidup agar tetap selaras, serasi dan lestari.

Kesimpulan
Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana merupakan Visi Kraton Yogyakarta yang menjadi tugas dan kewajiban raja-raja Mataram Yogyakarta untuk mewujudkannya. Mengingat keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana Sultan Kraton Yogyakarta sekaligus merupakan Gubernur, maka falsafah tersebut sangat mempengaruhi dalam operasional ketugasan Gubernur dan dijadikan sebagai dasar filosofi dalam pembangunan daerah Provinsi DIY. Kemudian dikembangkan dalam bentuk budaya pemerintahan, yang diharapkan difahami dan dilaksanakan oleh setiap aparatur pemerintah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lingkungan hidup mendapatkan perhatian khusus dalam kebudayaan Kraton Yogyakarta. Banyak bentuk-bentuk kebudayaan Kraton yang merupakan cerminan kearifan lokal yang bertujuan pada pelestarian fungsi lingkungan hidup, baik ditinjau dari segi aspek fisik, hayati maupun kultural. Bentuk budaya lokal yang berwawasan global tersebut merupakan replika yang dapat dijadikan acuan arahan dalam implementasi pengelolaan lingkungan menuju kepada terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

Referensi
Anonim. 2005. Budaya Pemerintahan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. PT. Gramedia, Jakarta.
Suhardjo, Dradjat. 2004. Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Safiria Insania Press, Yogyakarta.