Kamis, 31 Maret 2011

JEPANG BERTAHAN HIDUP DI TENGAH ANCAMAN BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI

Jepang akhirnya berduka kembali setelah serangkaian pengalaman gempa dan tsunami yang telah menimpa negara ini, HARI Jumat 11 maret 2011 jam 14.46 waktu Jepang atau sekitar jam 12.46 WIB ini hal sangat mengejutkan terjadi di tengah-tengah kesiapsiagaan yang ada, benteng penahan laju gelombang tsunami seolah tiada arti, peristiwa tersebut begitu cepat tanpa bisa diprediksi kapan kejadian gempa dan tsunami terjadi. Badan Survei Geologi AS (USGS) menyatakan bahwa gempa tersebut berkekuatan 8,9 Skala Richter pada kedalaman 24,3 km sekitar 130 km di sebelah timur Sendai, di pulau utama Honshu. Gempa dengan kekuatan, bahkan Tokyo pusat yang berjarak sekitar 400 km dari episentrum merasakan goncangan dahsyat sehingga menggoyangkan gedung-gedung tinggi, pusat perdagangan dan keramaian terpadat di dunia tersebut dibuat panik luar biasa.

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

LATAR BELAKANG

Pemahaman mengenai konsepsi, filosofi dan sejarah gender, dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan kepentingan dan kemanfaatan gender di berbagai aspek, terutama dalam kaitannya dengan ruang lingkup ketugasan pokok dan fungsi aparatur di dalam menjalan kepemerintahan.
Peningkatan peran serta wanita dalam pembangunan perlu mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender, hal tersebut dapat dikembangkan dalam kebijakan nasional yang responsif jender. Salah satu strategi untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui strategi pengarusutamaan jender dalam pembangunan. Hal ini dipertegas dengan diterbitkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga pemerintah non-departemen di pemerintah nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan jender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan. Pengarusutamaan gender disini adalah merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Selama ini pendekatan pembangunan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil terhadap perempuan dan laki-laki, sehingga hal tersebut turut memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender. Bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender dikenal dengan kesenjangan jender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan jender (gender issues).
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan tersebut adalah Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender-related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Berdasarkan Human Development Report 2000, GDI Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, dan lebih rendah dari negara-negara ASEAN lainnya. Data PBB, 1980 menunjukkan bahwa beban kerja perempuan di seluruh dunia lebih besar dari lelaki, perempuan di seluruh dunia melakukan 2/3 dari semua beban kerja, tetapi hanya menerima 10% dari pendapatan dunia dan hanya memanfaatkan 1% dari semua sarana produksi di dunia.
Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender ini diperburuk oleh masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, termasuk TNI dan POLRI. Hal ini ditandai oleh sedikitnya wakil perempuan dalam lembaga legislatif, serta sedikitnya pejabat struktural eselon I, II dan III. Hasil studi Prof Dr Mayling Oei yang dilakukan bulan April 2000, (walaupun waktu itu belum semua DPRD memilih ketuanya), di tingkat propinsi hanya satu dari 27 DPRD yang diketuai perempuan; hanya satu perempuan menjadi wakil ketua DPRD dari 70 wakil ketua DPRD. Adapun di tingkat kabupaten, hanya enam perempuan dari 245 ketua DPRD II dan hanya 10 perempuan dari 657 wakil ketua DPRD II Minimnya representasi perempuan dalam struktur pengambilan keputusan formal tersebut membuat suara dan kepentingan perempuan tidak didengar (Edriana Noerdin, Women Research Institute Jakarta, 2000). Dari data Profil Wanita Indonesia tahun 1998, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural eselon III hingga I pada tahun 1997 berjumlah 1.883 (6,98 %) sedangkan PNS laki-laki berjumlah 25.110 (93,02 %). Dari data tersebut tampak masih terdapat kesenjangan yang cukup besar antara perempuan dan laki-laki yang menduduki jabatan pimpinan di lingkungan pegawai negeri sipil.
Konsepsi dan filosofi gender dalam proses pembangunan adalah mengupayakan akses, peran serta, kontrol dan manfaat yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam setiap kegiatan pembangunan. Kesenjangan gender dalam pembangunan akan menimbulkan permasalahan gender, dari berbagai permasalah tersebut kemudian dianalis untuk mengetahui sebab-sebab ketidakadilan gender, dan pada akhirnya diupayakan pemecahan permasalannya untuk memperkecil dan bahkan meniadakan kesenjangan gender.

KONSEPSI GENDER
Konsepsi gender dalam kehidupan sehari-hari berbeda dengan jenis kelamin, sehingga dalam definisi apa itu gender dan jenis kelamin adalah sebagai berikut (diambilkan dari Meentje Simatau dkk., 2001 dalam buku Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam):
Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Ada bentuk-bentuk pembedaan yang lain, misalnya pembedaan berdasarkan kelas, kasta, warna kulit, etnis agama, umur dan lain sebagainya. Tiap-tiap pembedaan ini seringkali menimbulkan ketidakadilan, tidak terkecuali pembedaan gender.
Pembedaan dalam gender, seperti kita lihat bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menjahit, membersihkan rumah, mencuci pakaian sering dianggap pekerjaan perempuan. Demikian juga menyiangi kebun, mengumpulkan hasil panen, mengambil air, dalam beberapa masyarakat dianggap pekerjaan perempuan. Sementara yang dianggap pekerjaan laki-laki misalnya memperbaiki perkakas, berburu dan ikut dalam rapat-rapat atau pertemuan di masyarakat. Dapur dianggap sebagai tempat perempuan, sementara ruang tamu dianggap tempat laki-laki. Laki-laki digambarkan kuat dan rasional, sementara perempuan digambarkan emosional dan lemah lembut.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex), gender adalah bentukan manusia bukan kodrat, yang artinya dapat berubah setiap saat. Laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina adalah kodrat. Perempuan haid dan melahirkan adalah kodrat yang tidak dapat dirubah oleh manusia. Tetapi memasak, berburu, mencuci, membersihkan rumah, kerja kebun, mengambil kayu, ikut dalam pertemuan, bukanlah kodrat. Pada pekerjaan-pekerjaan atau peran ini, baik laki-laki dan perempuan dapat melakukannya. Laki-laki dapat memasak, mencuci pakaian, mengambil air dan membersihkan rumah. Perempuanpun dapat berburu, memelihara ternak besar (sapi, kerbau, kuda), mencangkul, mengendarai traktor, dan ikut dalam pertemuan-pertemuan. Untuk peran-peran yang diciptakan manusia, tidak ada batasan kodrati.
Gender juga sebuah alat analisa seberapa jauh pembedaan peran, hak dan kewajiban, kuasa dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Gender tidak sama di seluruh dunia, tergantung dari budaya dan perkembangan di satu wilayah. Gender berubah dari waktu ke waktu, setiap peristiwa dapat merubah hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Aplikasi konsepsi gender dalam pembangunan dijelaskan oleh Hardono Tedjokoesoemo seorang penyuluh pertanian dalam makalahnya Gender Dalam Penyuluhan, mengemukakan konsepsi gender kaitannya dengan kegiatan perencanaan pembangunan di Sektor Kehutanan sebagai berikut:
Alkisah, sekelompok ahli kehutanan diundang ke suatu pertemuan di sebuah desa untuk bersama-sama masyarakat menyusun rencana pembangunan hutan kemasyarakatan.
Para peserta pertemuan yang semuanya laki-laki menyatakan bahwa mereka ingin menanam spesies kayu keras agar kelak dapat dijadikan perabotan/mebel, dan patung untuk dijual. Maka, disediakanlah 3000 bibit sesuai dengan permintaan.
Setelah beberapa lama, semuanya mati Mengapa? Di desa itu, rupanya kaum perempuanlah yang biasa bertugas memelihara bibit tanaman; dan karena tak seorangpun diberitahu akan adanya bibit-bibit itu, maka bibit itu terlantar, dan akhirnya mati. Gender membuka wawasan tentang kesetaraan pria dan wanita
Pertemuan lain kemudian diadakan. Kali ini kaum perempuannya juga diundang. Dan ahli kehutanan dalam pertemuan itu, kemudian menyadari bahwa kaum perempuan di desa itu ternyata lebih menyukai spesies kayu lunak yang cepat tumbuh untuk kayu bakar dan pakan temak. Ketika proyek menyediakan kedua spesies sesuai dengan yang diinginkan baik oleh kaum laki-laki maupun kaum perempuannya, maka kaum perempuan menanam dan memelihara kedua jenis bibit yang disediakan proyek. Dan kedua jenis spesies kayu itu tumbuh subur.
Kisah di atas bukan karangan belaka, melainkan sebuah temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) yang dimuat dalam penerbitan "How forest can benefit from gender analysis" yang ditulis oleh Vicki L. Wilde dan Arja Vainio-Mattila (1995). Kisah itu menunjukkan bahwa informasi yang lebih rinci dan terpilah menurut gender tampaknya sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Perencanaan pembangunan yang berpusat pada "rakyat" memerlukan informasi yang tepat tentang siapa "rakyat" itu. Mereka bukan kelompok yang homogen. Mereka terdiri atas perempuan dan laki-laki. Kaum "miskin" adalah perempuan miskin dan laki-laki miskin. Anak-anak, adalah anak perempuan, dan anak laki-laki. Dimanapun, dan dalam setiap kelompok sosial ekonomi, kehidupan perempuan dan laki-laki secara mendasar struktumya berbeda.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG BERWAWASAN GENDER
Pembangunan berwawasan gender disini adalah kegiatan pembangunan yang meliputi aspek-aspek pembangunan secara keseluruhan yang tercakup dalam strategi pengarusutamaan gender yang dikembangkan dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender. Untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya dalam mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya.
Dalam proses manajeman kegiatan pembangunan berwawasan gender, proses kegiatannya mencakup mulai dari awal proses perencanaan, pada waktu pelaksanaan kegiatan sampai pada proses pemantauan/ evaluasi. Kebijakan pembangunan berwawasan gender adalah kebijakan pemerintah yang memperhatikan kepentingan lelaki-perempuan, berupaya mengoptimalkan partisipasi kelompok khalayak sasaran sebagai subyek-pelaku penerima manfaat pembangunan.
Dampak suatu kegiatan diperlukan untuk mengetahui sejauhmana dampak positif manfaat) wanita dan pria memperoleh manfaat dari pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan serta dampak apa yang diderita wanita dan pria dari pelaksanaan pembangunan.
Manfaat dan dampak kegiatan pembangunan berwawasan gender, adalah sebagai berikut:
1.Pemenuhan kebutuhan jangka pendek, mengubah kehidupan individu melalui kebutuhan dasar,
Misalnya:
-Pendirian pompa tangan dekat lokasi rumah
-Pengembangan tungku/oven hemat energi
-Perbaikan kesehatan (posyandu, DPG, UPGK, Pos KB)
-Perbaikan sarana pelayanan (transportasi, sekolah, perumahan)
2.Pemenuhan kebutuhan jangka panjang, mengubah peran gender agar berbagi lebih adal dalam pembangunan/mitra sejajar
Misalnya:
-Perbaikan kesempatan pendidikan
-Perbaikan akses produksi (hak membuka rekening, status kepemilikan lahan dan lain-lain).
Kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang berwawasan gender diharapkan dapat tercermin dalam pengarusutamaan gender. Dimana struktur dan mekanisme pemerintah, propinsi, kabupaten/kota harus mengintegrasikan perspektif jender. Struktur organisasi pemerintah, propinsi, kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di lingkup nasional, propinsi dan kabupaten/kota, yang ditandai oleh terbentuknya Unit PUJ, Focal Point, Kelompok Kerja dan Forum. Mekanisme pelaksanaan Pengarusutamaan Gender diintegrasikan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang berwawasan gender dapat selalu terkontrol sejauhmana tingkat peran serta keterlibatan dan peranan laki-laki/perempuan dalam pembangunan.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan melakukan pengarusutamaan gender, dapat diidentifikasi kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Dengan demikian, tujuan akhir dari pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender.
Penyelenggaraan pengarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender maupun pemenuhan kebutuhan strategis jender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan–kebutuhan perempuan agar dapat menjalankan peran-peran sosial yang diperankan oleh mereka untuk merespons kebutuhan jangka pendek seperti perbaikan taraf kehidupan, perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan; apangan kerja, penyediaan air bersih, dan pemberantasan buta aksara. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan perubahan sub-ordinasi perempuan terhadap laki-laki seperti perubahan didalam pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya. Kebutuhan strategis ini misalnya perubahan hak hukum, penghapusan kekerasan dan diskriminasi di berbagai kehidupan, persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama.
Dengan menyelenggarakan pengarusutamaan gender, maka dapat diindentifikasi apakah laki-laki dan perempuan: memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan; berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan; memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan; dan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
Dengan demikian, melalui strategi pengarusutamaan gender dapat dikembangkan kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan yang responsif gender sehingga dapat mengurangi kesenjangan gender yang mengantar pada pencapaian kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, strategi pengarusutamaan gender dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyatnya dalam mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya.

PENUTUP
Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender berlainan dengan jenis kelamin, jenis kelamin terbentuk secara alamiah kodrati sedangkan gender hanya sebatas bentukan budaya masyarakat. Pembedaan dalam gender dilihat oleh banyak pihak terutama dari kaum perempuan ternyata banyak merugikan kaum perempuan, sehingga berbagai upaya dilakukan melalui diskusi, penelitian-penelitian serta konferensi-konferensi tingkat internasional untuk meniadakan pembedaan peran tersebut. Dari hasil konferensi tersebut lahirlah berbagai istilah seperti WID (Women ind Development), WAD (Women and Development), GAD (Gender and Development) yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk kebijakan Pengarusutamaan Gender sampai saat ini.
Pada akhirnya yang dapat digarisbawahi disini adalah bahwa peranan wanita dalam pembangunan berwawasan gender baik di dunia maupun di Indonesia, mempunyai makna agar antara laki-laki dan perempuan dapat memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan; berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan; memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan; dan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

REFERENSI
Anonim, Panduan Pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2001.
Anonim, Rencana Induk Pembangunan Nasonal Pemberdayaan Perempuan 2000 – 2004, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2001.
Anonim, Teknik Analisis Jender untuk Pusat Studi Wanita, Catatan Kursus Diklat Gender, Bogor, 1999.
Anonim, Perencanaan Pembangunan Berwawasan Gender (P2BJ), Media Diklat P2BJ Tingkat Pusat, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 1997.
Edriana Noerdin, Tata Pemerintahan yang Tak Meminggirkan Perempuan, Women Research Institute, Jakarta, 2002
Hardono Tedjokoesoemo, Gender Dalam Penyuluhan, Makalah
Meentje Simatau dkk., Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2001