Selasa, 09 Februari 2010

EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Sejak tahun 1998 gaung reformasi sampak saat ini terus terdengar dan dijadikan landasan setiap pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Beragam persepsi tentang arah reformasipun bermunculan, tidak jarang penafsiran-penafsiran berujung pangkal pada kepentingan-kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektoral. Kepentingan pembangunan dalam kerangka memakmurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dibicarakan dengan antusias oleh para pengambil kebijakan, apalagi mendapatkan perhatian serius dalam implementasinya. Sektor perekonomian masih menjadi tujuan utama arah pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal tersebut tentunya sangat baik apabila didasari keinginan untuk mengangkat kondisi perekonomian daerah yang makin terpuruk di tingkat global sekarang ini. Tetapi pada kenyataannya sering terjadi ketidakefisienan dalam sistem perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, kelembagaan, sumberdaya manusia, mekanisme prosedural, serta pengalokasian anggaran pembangunan dalam era otonomi daerah sekarang ini. Ketidakefisienan tersebut hampir terjadi secara menyeluruh dalam setiap unsur manajemen pemerintahan, belum lagi fakta korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mengakar dan tumbuh subur di kalangan birokrasi. Suatu hal yang sangat sulit untuk diberantas dan mau dimulai dari mana di tengah makin menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Keinginan mendapatkan pemasukan pendapatan yang sebesar-besarnya malah menjadi tujuan utama pelaksanaan otonomi daerah, karena langsung dapat dirasakan dalam perputaran siklus anggaran oleh para pengambil kebijakan. Prinsip pembangunan berkelanjutan kurang diperhatikan, karena dampak langsung yang dapat dirasakan masih memerlukan proses dan waktu yang lama, walaupun sebenarnya akan lebih memberikan manfaat bagi masyarakat dalam perpektif jangka panjang. Eksploitasi sumberdaya alam dilakukan tanpa mempedulikan aspek kelestarian atau alternatif penggantinya, prinsip mempertahankan keanekaragaman hayati diubah menjadi penyeragaman yang berakibat pada kerusakan lingkungan karena tidak alamiah dan tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungannya, pajak-pajak dan retribusi dinaikkan, kesejahteraan karyawan terutama di Badan-badan Usaha Milik Negara, Bank-bank pemerintah makin menimbulkan kesenjangan sosial, pembengkakan dana APBN pada sektor-sektor dan pemerintahan pusat serta APBD pada pemerintahan tingkat daerah dari tahun ke tahun terus meningkat. Walaupun memang perlu disadari bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah harus ditopang dengan anggaran yang sangat besar, lebih-lebih dengan akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Akan tetapi bukan berarti prinsip dasar pembangunan berkelanjutan harus dilupakan, yaitu mengupayakan “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Menurut Baiquni, 2004 dapat diperinci lebih detil lagi dan paling tidak mencakup hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem;
2. Upaya peningkatkan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan;
3. Upaya meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang;
4. Upaya mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi.
Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dirintis sejak Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan konferensi mengenai Human Environment di Stockholm tahun 1972 yang melahirkan The Principles of Environment and Development. Kemudian ditindaklanjuti dalam Konperensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 yang menghasilkan dua kesepakatan internasional, dua pernyataan tentang prinsip dan sebuah agenda langkah utama tentang pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia yang dikenal dengan nama Agenda 21 Global. Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm dan Rio de Janeiro ini kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Nasional, diantaranya Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Agenda 21 Indonesia kemudian disusun dengan tujuan nasional memperkaya dan melengkapi wawasan tentang proses pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Struktur dokumen Agenda 21 Indonesia terdiri dari empat bagian yaitu pelayanan masyarakat, pengelolaan limbah, penglolaan sumberdaya lahan dan pengelolaan sumberdaya alam. Keterpaduan atau integrasi dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan merupakan kunci keberhasilan yang harus dilaksanakan oleh semua sektor pembangunan. Ego sektoral, kedaerahan, kepentingan pribadi dan golongan harus dihilangkan, agar tercipta situasi dan kondisi yang sinergis dalam setiap proses pengambilan kebijakan, pengembangan program dan strategi seluruh kegiatan pembangunan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi implementasi otonomi daerah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri tahun 2003 banyak kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih antara tingkat pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dari 278 responden di provinsi, kabupaten/kota di Indonesia menyatakan 46 % terjadi kewenangan yang tumpang tindih antara provinsi dengan kabupaten/kota. Kalau dihitung kewenangan apa saja yang tumpang tindih berkisar 25 urusan pemerintah, berturut-turut yang menduduki porsi terbesar sampai kecil adalah sektor Kehutanan/Perkebunan, Pertanahan, Pekerjaan Umum, Perhubungan Laut, Pertambangan, Tenaga Kerja/Kepegawaian, Perhubungan Darat dan Udara, dan seterusnya. Peraturan perundang-undangan sebagai payung pelaksanaan otonomi daerah juga banyak yang dijumpai sebagai sumber tumpang tindih pelaksanaan kewenangan atau urusan pemerintahan. Dari hasil monitoring dan evaluasi tersebut jumlahnya berkisar 38 peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-undang Otonomi Daerah, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, sampai pada keputusan tingkat kementrian serta Peraturan Daerah. Hal tersebut apabila dibiarkan tentu akan menjadi permasalahan serius, dan memungkinkan terjadinya konflik kepentingan antar provinsi dan kabupaten. Dan sangat tidak kondusif dalam upaya melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Baru berjalan empat tahun Undang-undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi kembali dengan keluarnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Ini merupakan suatu upaya yang cukup responsif menghadapi tuntutan masyarakat luas, walaupun memang dalam beberapa hal masih terdapat kontroversi, misalnya dalam hal urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian jabatan eselon II, tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum Daerah, dan sebagainya. Adanya penekanan dalam hal hubungan antar pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dimana dalam Pasal 2 ayat (4) UU. No. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya.
Hal tersebut merupakan suatu hal positif agar tercipta suatu kesinambungan yang hirarkis dalam segala sektor urusan pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Penyerasian lingkungan yang menjadi salah satu tujuan dalam pembangunan berkelanjutan mendapatkan ketegasan dalam UU. No. 32 tahun 2004 ini, khususnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Akan tetapi dalam penerapannya mungkin masih memerlukan waktu, karena ada hal-hal lain sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut yang akan ditindaklanjuti dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Ditjen Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, 2004, diperlukan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Undang-undang; 43 (empat puluh tiga) Peraturan Pemerintah; 2 (dua) Peraturan Presiden; 1 (satu) Keputusan Presiden; 4 (empat) Permendagri; 13 (tiga belas) Perda; 4 (empat) Peraturan Gubernur; 3 Peraturan Bupati/Walikota; dan 3 (tiga) Peraturan KPU. Merupakan tugas yang cukup berat bagi jajaran legislatif maupun eksekutif untuk segera merealisasikan peraturan perundang-undangan tersebut. Jangan sampai tugas yang mulia tersebut terhambat hanya karena perseturuan antar partai, golongan maupun pribadi, dan sungguh sangat memprihatinkan apabila ditengok akar permasalahannya hanya karena sifat keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah, walaupun mungkin sebenarnya yang mau mengalah tersebutlah yang akan memperoleh kemenangan dalam rangka kepentingan bersama.
Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan dalam era otonomi daerah dapat dilihat dari pelaksanaan proses pengelolaan lingkungan yang konsekuen, yaitu suatu proses intervensi publik yang sistematis dan menerus dalam pengalokasian dan pemanfaatan lingkungan dan sumberdaya alam untuk memecahkan persoalan-persoalan lingkungan saat ini dan untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (Setiawan, 2000). Intervensi publik ini menjadi kewajiban seluruh stake holders yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan, yaitu pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta. Ada 4 jenis instrumen yang dapat digunakan dalam manajemen lingkungan yang berkelanjutan, 1. Instrumen regulasi, misalnya peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup, Amdal. 2. Intervensi langsung, misalnya program kali bersih, langit biru. 3. Instrumen ekonomi, misalnya pemberian insentif dan disinsentif, pajak, retribusi. 4. Alternatif instrumen lain melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara mengembangkan kearifan lokal masyarakat setempat, kemitraan dan lain-lain. Instrumen-instrumen tersebut akan efektif apabila pemegang kendali yaitu pemerintah daerah dapat mengintegrasikan instrumen-instrumen tersebut ke dalam setiap sektor atau bidang kegiatan pembangunan. Kemudian setiap pelaksanaan dan pengambilan kebijakan dilakukan saling terkait, ketergantungan, sinergis dalam satu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien.
Ibarat seorang balita yang sedang belajar berjalan, memang perubahan strategi pembangunan yang mendasar diperlukan waktu untuk melakukan proses pembelajaran. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang sering dijadikan sasaran utama harus dirubah perlahan-lahan menjadi pembangunan yang berorientasi kepada keberlanjutan ekologi. Ekonomi dunia tidak dibelokkan begitu saja dari strategi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya menjadi strategi yang memperhitungkan ekternalitas atau failure market yang meliputi biaya sosial dan biaya lingkungan. Pembangunan berkelanjutan harus melakukan serangkaian perubahan dalam jangka panjang dilakukan perlahan-lahan namun dipilih yang substansial (Baiquni, 2004).
Pada akhirnya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam era otonomi daerah ini diperlukan perencanaan matang dan komitmen bersama seluruh lapisan masyarakat sipil, politisi, birokrat dan swasta dalam implementasinya. Kemudian dalam setiap kegiatan pelaksanaan pembangunan tetap mengedepankan prinsip-prinsip kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang telah tertuang dalam Agenda 21 Global, Nasional maupun Daerah. Dalam Undang-undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menerangkan macam-macam dokumen perencanaan yang harus dibuat yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) periode 20 tahun; Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) periode 5 tahun; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementrian/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut juga Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (Renstra-KL) dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) periode 5 tahun; Rencana Pembangunan Tahunan Nasional dan Daerah atau disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) periode 1 tahun; Rencana Pembangunan Tahunan Kementrian/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut juga dengan Rencana Kerja Kementrian/Lembaga (Renja_KL) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja_SKPD).
Dokumen-dokumen perencanaan tersebut baru akan mulai dibuat dan direncanaan pada tahun ini, sehingga saat inilah peletakan pondasi dasar pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Proses perencanaan tersebut harus terkoordinasi secara hirarkis, tidak rumpang tinding dalam hal program, bottom up planning, dan memenuhi aspirasi serta keperluan masyarakat luas. Sesuatu hal yang penting disini adalah bagaimana menanamkan kesadaran lingkungan hidup kepada masyarakat untuk dapat mengatur dirinya sendiri, mendorong pemerintah daerah untuk mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan, berpihak pada rakyat, ekonomis dan berkelanjutan (Otto Soemarwoto, 2001). Dengan demikian pondasi dasar untuk menuju kemakmuran bersama seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat segera terwujud, sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan oleh founding further Bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar