Sabtu, 31 Juli 2010

Kajian Kualitas Lingkungan Akibat Penambangan Pasir dan Batu



ABSTRACTS
The volcano of Merapi is represent one of mount which have active in the world. The volcano of Merapi very potential yield the sand and stone material upon which building construction. The environmental quality study research effect of mining sand and stone evaluated from environmental physical of aspect, biotic, and also social culture. Then developing become the environmental management stategy in management mining of sand and stone with the vision of environment. In this research, location executed in Countryside Purwobinangun, Subdistrict Pakem, Sleman Regency.
The research method is method survey, through observation of perception of mining location and interview. Then conducted by a step analyze the secondary and primary data related to problem formulation descriptively and causality.
Result of research indicate that environmental quality effect of sand and stone mining different each other. Pursuant to miner perception, the environmental quality level of abiotic in good condition, the environmental quality level of biotic in moderate condition, the environmental quality social culture is moderate. Pursuant to permanent criterion parameter of environmental damage in farm indicate that the environment quality level of abiotic in condition destroy, while in river of its environmental quality condition is medium – good.

Key words: mining, sand and stone, quality, environmental, strategy


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gunungapi Merapi sebagai salah satu gunungapi aktif di dunia, menghasilkan sumberdaya alam yang potensial berupa material vulkanik dalam bentuk pasir, kerikil, kerakal, dan batu-batu berukuran sampai dengan bongkah. Adanya perubahan arah erupsi dari Gunungapi Merapi menyebabkan keterbatasan jumlah material pasir dan batu. Pasir dan batu hasil endapan aliran lahar tersebut menjadi primadona pengusaha yang memanfaatkannya sebagai bahan bangunan karena kualitasnya yang sangat baik. Dari pasir dan batu ini masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan, pengusaha memperoleh keuntungan, dan pemerintah mendapatkan pajak bahan galian golongan c.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengeksploitasi pasir dan batu Gunungapi Merapi, gejala tersebut harus cepat ditangkap dan diwaspadai oleh Pemerintah Daerah, para pakar lingkungan hidup, dan masyarakat. Aktivitas penambangan yang tidak terkontrol akan dapat mengakibatkan permasalahan-permasalahan lingkungan. Rusaknya jalan akibat lalu-lintas transportasi pengangkutan material hasil tambang, rusaknya dam pengendali banjir lahar Gunungapi Merapi, terjadi proses tanah longsor di kanan kiri tebing sungai, pohon-pohon ditebang sehingga dapat mengganggu fungsi resapan air, dan akhirnya ekosistem Gunungapi Merapi dapat menjadi rusak.
Lokasi penambangan di daerah penelitian yaitu di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman pada beberapa lahan dan sepanjang Sungai Boyong. Daerah tersebut mempunyai cadangan pasir dan batu yang potensial untuk ditambang, oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pemantauan dan pengelolaan lingkungan agar kondisi lingkungan pada saat sekarang tidak merusak ekosistem Gunungapi Merapi. Selain itu dari aspek sosial budaya perlu upaya pengendalian kemungkinan terjadinya konflik sosial kemasyarakatan akibat penambangan pasir dan batu tersebut.
Proses penambangan selalu dikonotasikan dengan merusak ekologi. Keaneragaman hayati menjadi terganggu baik dalam pendistribusiannya maupun kemelimpahan spesies-spesies yang ada di sekitar areal pertambangan. Interaksi antarmanusia dengan alam menjadi tidak harmonis, dalam arti manusia melakukan eksploitasi yang melebihi kapasitas atau daya dukung alam yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan pada sistem ekologi.
Tujuan penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kualitas lingkungan ekosistem Gunungapi Merapi akibat penambangan pasir dan batu, serta menentukan strategi pengelolaan lingkungan kegiatan penambangan pasir dan batu.
Metode Penelitian
Daerah penelitian berlokasi di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode survei. Data primer hasil survei lapangan diperoleh dengan cara mengamati dan menganalisa kondisi lingkungan hidup daerah penelitian khususnya pada lokasi pengamatan penambangan (Gambar 1), memberikan daftar pertanyaan (kuesioner), serta wawancara kepada penambang. Responden kuesioner ini adalah para penambang yang merupakan kepala rumah tangga atau perwakilan dari satu rumah tangga. Data sekunder diperoleh dari tinjauan pustaka terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan daerah penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Fisiografi Ekosistem Gunungapi Merapi
Secara morfologi tubuh Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu Kerucut Puncak, Lereng Tengah dan Lereng Kaki dan Dataran Kaki (Sari, 1992 dalam Ratdomopurbo, dkk. 2000). Hasil letusan dari gunungapi dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian utama, yaitu breksi vulkanik (lahar), pasir dan abu vulkanik dan lava, baik lava flow maupun lava dome. Lebih lanjut, breksi vulkanik dapat diperinci menjadi lahar dingin (aliran lumpur dingin), lahar panas (aliran lumpur panas), ladus, awan panas (nuees ardentes) dan gelinciran tubuh gunungapi muda, sedangkan pasir dan abu vulkanik sering disebut dengan tuff (Wisyanto, 2001).
Material-material hasil erupsi Gunungapi Merapi tersebut dapat menghasilkan potensi sumberdaya alam yang berupa pasir dan batu, diantaranya tersebar pada alur-alur sungai di sekeliling Gunung Merapi. Sebagian endapan material ini sudah tererosi menjadi lahar yang tertampung di dalam beberapa check dam yang dibangun di alur sungai ini. Endapan lahar tersebut dieksploitasi masyarakat sebagai bahan galian golongan c ( Muzani dkk., 2003).

Lingkungan Biotik Gunung Merapi
Kawasan hutan negara sekitar puncak Gunungapi Merapi mempunyai luas keseluruhan 8.752 ha, terdiri dari 1.791 ha atau 20,5% terletak di Provinsi DIY, dan 6.961 ha atau 79,5% terletak di Provinsi Jawa Tengah. Kawasan in sangat penting karena berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam satuan ekosistem sumberdaya alam dan bertindak sebagai daerah tangkapan air atau sumber air (Marsono, 2004).
Komponen fauna yang merupakan bagian penyusun biosistem dari fauna Gunungapi Merapi, terdiri dari sapi, ayam kampung, kucing, ayam alas, burung bido, burung gagak, burung prenjak, burung kutilang, kelelawar, kera ekor panjang, tupai, garangan, musang dan ikan air tawar. Penambangan bahan galian golongan c khususnya pasir dan batu hampir sebagian besar (95%) dilakukan di lembah sungai. Kenyataan tersebut menjadikan komponen biotis (komponen flora maupun fauna) tetap berfungsi secara berkelanjutan sebagai pendukung ekosistem hutan tropis di lereng Gunung Merapi maupun sistem agroforestry yang dikembangkan penduduk di lereng bawah Gunungapi Merapi (Dinas Pertambangan Kabupaten Sleman, 2000).
Lingkungan Sosial Budaya
Kepadatan penduduk rata-rata dari luas 13,48 km2 dan jumlah penduduk 8.818 orang adalah 654,15 orang/km2. Banyaknya kepala keluarga rumah tangga adalah 2.313 kepala keluarga dengan rata-rata jumlah keluarga per rumah tangga adalah 4 jiwa. Komposisi penduduk mempunyai pengaruh yang penting terhadap aspek sosial budaya, termasuk perilaku penambang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam pasir dan batu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penambang dan masyarakat di wilayah Desa Purwobinangun. Jumlah penduduk menentukan seberapa besar tingkat produktivitas masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa. Sex ratio penduduk Desa Purwobinangun adalah 95,65%, prosentase tersebut dihitung dari jumlah penduduk menurut jenis kelamin (Monografi Desa dan Kelurahan Purwobinangun, 2004).
Komposisi jumlah penduduk menurut pekerjaan di daerah penelitian menunjukkan prosentase terbesar pada mata pencaharian bertani yaitu 48,95%. Hasil wawancara langsung kepada penduduk mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan sehari-hari, banyak diantaranya yang memiliki pekerjaan lebih dari satu. Hal ini ada perbedaan data dengan data yang tercatat di pemerintahan, misalnya walaupun banyak penduduk yang sehari-harinya bekerja sebagai penambang dan peternak tetapi di komposisi pekerjaan penduduk tidak tercantum.
Tingkat Kualitas Lingkungan Abiotik
Tingkat kualitas lingkungan abiotik akibat penambangan pasir dan batu di daerah penelitian dikaji dari beberapa parameter, yaitu berdasarkan parameter persepsi pendapat penambang dan berdasarkan parameter kriteria baku kerusakan lingkungan di sungai dan lahan pekarangan.
Parameter Persepsi Penambang
Hasil analisis terhadap pendapat masyarakat penambang menyatakan bahwa dari 66 responden (80,5%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan abiotik masih dalam kondisi baik, 16 responden (19,5%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan abiotik dalam keadaan sedang, dan 0 responden (0%) berpendapat bahwa tingkat kualitas lingkungan abiotik dalam keadaan buruk. Kecenderungan persepsi penambang menyatakan bahwa tingkat kualitas lingkungan abiotik masih dalam kondisi baik.

Parameter Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan
Tingkat kualitas lingkungan berdasarkan parameter kriteria baku kerusakan lingkungan dibagi menjadi 2, yaitu lokasi pengamatan penambangan di sepanjang Sungai Boyong dan lokasi pengamatan penambangan pasir dan batu di lahan atau tanah pada lereng Gunungapi Merapi. Parameter atau tolok ukur tingkat kualitas lingkungan didasarkan pada Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan bagi Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Parameter Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan di Sungai
Pada lokasi penambangan yang terletak di sungai, tolok ukur tingkat kualitas lingkungan atas dasar unsur pengamatan terhadap alur sungai, erosi tebing, dan degradasi sungai. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kualitas lingkungan abiotik di sungai dalam kondisi sedang – baik.

Parameter Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan di Lahan
Pada lokasi penambangan yang terletak di lahan pekarangan atau tanah pada lereng Gunungapi Merapi, tolok ukur tingkat kualitas lingkungan berdasarkan pada unsur pengamatan terhadap relief dasar galian, batas kemiringan tebing galian, dan tinggi dinding galian. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kualitas lingkungan abiotik di lahan dalam kondisi sedang – buruk.

Tingkat Kualitas Lingkungan Biotik
Hasil analisis terhadap jawaban 82 responden masyarakat penambang menyatakan bahwa dari 7 responden (8,54%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan biotik masih dalam kondisi baik, 74 responden (90,24%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan biotik dalam keadaan sedang, dan 1 responden (1,22%) berpendapat bahwa tingkat kualitas lingkungan biotik dalam keadaan buruk. Kecenderungan persepsi penambang menyatakan bahwa tingkat kualitas lingkungan biotik dalam kondisi sedang.

Tingkat Kualitas Lingkungan Sosial Budaya Penambang
Hasil analisis terhadap jawaban 82 responden masyarakat penambang diperoleh hasil 1 responden (1,2%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan sosial budaya penambang dalam kondisi baik, 81 responden (98,8%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan sosial budaya penambang dalam keadaan sedang, dan 0 responden (0%) berpendapat bahwa tingkat kualitas lingkungan sosial budaya penambang dalam keadaan kurang. Kecenderungan persepsi penambang menyatakan bahwa tingkat kualitas lingkungan sosial budaya masih dalam kondisi sedang.
Aspek-aspek sebagai dasar penilaian tingkat kualitas lingkungan yang berhubungan dengan kegiatan operasional penambangan pasir dan batu adalah lama penambangan, tujuan, keberadaan alat berat, jumlah keluarga yang ikut menambang, peralatan, volume, dan lokasi penambangan. Hasil analisis jawaban dari 82 responden terhadap kuesioner yang diberikan menyatakan bahwa 35 (42,7%) responden berpendapat tingkat kualitas lingkungan akibat kegiatan operasional penambangan pasir dan batu masih dalam kondisi baik, 47 (57,3%) berpendapat tingkat kualitas lingkungan akibat kegiatan operasional penambangan pasir dan batu dalam keadaan sedang, dan 0 (0%) berpendapat bahwa tingkat kualitas lingkungan akibat kegiatan operasional penambangan pasir dan batu dalam keadaan buruk.
Hasil analisis menunjukkan kecenderungan bahwa masyarakat menilai tingkat kualitas lingkungan akibat kegiatan operasional penambangan pasir dan batu dalam kondisi sedang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh penambangan pasir dan batu terhadap tingkat kualitas lingkungan tetap ada dan kuat. Besar pengaruh tergantung kepada jumlah aktivitas penambangan. Semakin banyak aktivitas kegiatan operasional penambangan semakin kuat pengaruhnya terhadap tingkat kualitas lingkungan hidup.
Strategi Pengelolaan Penambangan Pasir dan Batu
Strategi pengelolaan penambangan pasir dan batu diperlukan untuk dapat menyelesaikan permasalahan kritis dan mendasar masyarakat di daerah penelitian. Pelaksanaan strategi pengelolaan berprinsip kepada pengembangan masyarakat bersifat partisipatif dan kolaboratif, transparansi dalam operasional pelaksanaan kebijakan atau peraturan perundang-undangan, akuntabilitas dalam pengaturan penambangan bagi semua stakeholders, dan pengembangan masyarakat merupakan bagian dari responsibilitas.
Pendekatan strategi dapat ditinjau secara manajemen dan dibagi menjadi 4 kegiatan, yaitu penentuan lokasi prospek penambangan pasir dan batu, proses pengambilan pasir dan batu, proses pengakutan pasir dan batu, dan pengaturan regulasi atau kebijakan dalam penambangan pasir dan batu. Masing-masing kegiatan saling berkaitan dan merupakan kesatuan yang saling melengkapi. Setiap kegiatan perlu menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan.
Strategi pengelolaan kegiatan pertambangan pasir dan batu harus dilaksanakan secara terpadu, artinya semua stakeholders yang terlibat dalam kaitannya dengan penambangan harus dilibatkan dalam setiap awal kegiatan penambangan sampai pada pascapenambangan. Setiap pengambilan kebijakan/regulasi penambangan perlu disosialisasikan dengan baik, agar dapat diterima oleh semua pihak, khususnya terhadap masyarakat di sekitar areal lokasi penambangan, menuju kepada terciptanya suatu strategi pengelolaan penambangan yang ramah akan lingkungan, ekonomis dan berkelanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tingkat kualitas lingkungan abiotik ekosistem Gunungapi Merapi di daerah penelitian ditinjau dari parameter persepsi penambang masih dalam kondisi baik. Tingkat kualitas lingkungan abiotik ekosistem Gunungapi Merapi di daerah penelitian ditinjau dari parameter kriteria baku kerusakan lingkungan, untuk penambangan pasir dan batu di lahan dalam kondisi buruk, sedangkan untuk penambangan pasir dan batu yang berlokasi di sungai, mempunyai tingkat kualitas lingkungan sedang – baik. Tingkat kualitas lingkungan biotik ekosistem Gunungapi Merapi berdasarkan parameter persepsi penambang dalam kondisi sedang. Tingkat kualitas lingkungan sosial budaya penambang ditinjau dari parameter persepsi masyarakat dalam kondisi sedang.
Strategi pengelolaan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir dan batu dilaksanakan dengan tahapan penentuan lokasi prospek penambangan pasir dan batu, proses pengambilan pasir dan batu, pengangkutan pasir dan batu, pengaturan regulasi atau kebijakan dalam penambangan pasir dan batu. Strategi pengelolaan penambangan pasir dan batu diperlukan untuk dapat menyelesaikan permasalahan kritis dan mendasar masyarakat di daerah penelitian. Pelaksanaan strategi pengelolaan berprinsip kepada pengembangan masyarakat bersifat partisipatif dan kolaboratif, transparansi dalam operasional pelaksanaan kebijakan atau peraturan perundang-undangan, akuntabilitas dalam pengaturan penambangan bagi semua stakeholders, dan pengembangan masyarakat merupakan bagian dari responsibilitas.
Saran
Penambangan pasir dan batu sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan tetapi penambangan sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup. Penambangan yang dilaksanakan di lahan pekarangan, tegal, hutan, sebaiknya dihentikan, karena mempunyai kecenderungan kuat dapat merusak lingkungan hidup. Penambangan disarankan dilaksanakan di sungai dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dimonitor setiap saat.
Penambangan yang berlokasi di luar sungai, apabila terpaksa dilaksanakan perlu kesepakatan bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha dalam hal rencana lokasi penambangan dan komitmen pascapenambangan harus dilaksanakan secara konsekuen. Efektivitas check dam sebagai pengendali banjir lahar Gunung Merapi perlu dievaluasi keberadaannya lebih lanjut, karena ada kemungkinan keseimbangan ekosistem Gunungapi Merapi menjadi terhambat dan tidak dapat berlangsung secara alami.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertambangan Kabupaten Sleman. 2000. Pemetaan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan Turi, Tempel dan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Marsono, D. 2004. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. PT. Bayu Grafika dan Bigraf Publising bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Yogyakarta.
Muzani, M., Panut, Asman, Julianto. 2003. Laporan Pengamatan Lahar Gunung Merapi. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Yogyakarta.
Ratdomopurbo, A., Andreastuti, S.D. 2000. Karakteristik Gunung Merapi. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Direktorat Vulkanologi. Yogyakarta.
Wisyanto. 2001. Perencanaan Mitigasi Bencana Gunungapi melalui Pengenalan Sifat dan Perioda Letusannya. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana Alami. Volume 6 Nomor 2 Tahun 2001. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Kawasan (P3TPSLK), Deputi Bidang Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. Hal.38-41.