Senin, 31 Desember 2012

BUKTI ILMIAH KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PEMBERDAYAAN SDM ORGANISASI

Menurut Peter Senge (2006) “pada intinya, setiap organisasi adalah produk dari bagaimana anggotanya berfikir dan berinteraksi satu sama lain. Organisasi tidak dapat lagi dipandang seperti benda”. Organisasi yang baik kinerjanya tergantung dari pemikiran bersama dari setiap anggota-anggota yang ada di dalamnya. Dari partisipasi masing-masing anggota secara aktif berkontribusi positif terhadap organisasinya akan membawa organisasi menjadi lebih berkinerja secara optimal.
Perilaku para aparatur yang berhasil mendapatkan sentuhan kecerdasan spiritual akan terlihat pada konsep diri yang dimilikinya, cermin diri dari aparatur tersebut akan terlihat keikhlasan yang luar biasa dalam bersikap dan berperilaku. Bekerja sepertinya tanpa pamrih, lebih mengedepankan kewajiban dibandingkan haknya, rajin beribadah, jujur, dan selalu bekerja dengan penuh semangat. Bukti ilmiah kecerdasan spiritual dalam pemberdayaan sumberdaya manusia organisasi dapat terlihat pada aktivitas aparatur pada lembaga dimana mereka bekerja.
Banyak bukti ilmiah mengenai SQ, penelitian-penelitian yang diantaranya dilakukan oleh: (1) neuropsikologi Michael Persinger di awal 1990-an, dan 1997 oleh neurolog Ramachandran bersama timnya di Universitas California mengenai adanya “titik Tuhan” (God Spot) dalam otak manusia. Melalui pengamatan terhadap otak dengan topograpi emisi positron, area-area saraf tersebut akan bersinar tatkala subyek penelitian diarahkan untuk mendiskusikan topik spiritual atau agama. (2) penelitian neurolog Austria Wolf Singer di tahun 1990-an tentang “problem ikatan” membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang dicurahkan untuk menyatukan dan memberi makna pada pengalaman kita, semacam proses saraf yang benar-benar “mengikat” pengalaman kita. Penelitian ini menawarkan isyarat tentang adanya model kecerdasan ketiga yaitu SQ. (3) Terrance Deacon membuktikan dalam penelitiannya bahwa bahasa adalah sesuatu yang unik pada manusia, suatu aktivitas yang pada dasarnya bersifat simbolik dan berpusat pada makna, yang berkembang bersama dengan perkembangan yang cepat dalam cuping-cuping depan otak. Seluruh program penelitian Deacon mengenai evolusi imajinasi simbolis dan perannya dalam evolusi sosial dan otak mendukung kemampuan kecerdasan yang kita sebut SQ (Zulkifli Sidiq, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196010151987101-ZULKIFLI_SIDIQ/SPIRITUAL_QUOTIENT.pdf diakses tanggal 5-10-2012).

Jumat, 30 November 2012

KONTRIBUSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TRAINING OF TRAINERS (TOT) TERHADAP KINERJA ALUMNI

ABSTRAK


Kontribusi alumni Diklat Training of Trainers (TOT) dapat dilihat dari 3 (tiga) unsur indikator, yaitu indikator tingkat perbaikan kinerja alumni, indikator pendayagunaan alumni, dan indikator tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan. Hasil penelitian dari jawaban 13 (tiga belas) responden yang terdiri dari, 4 orang atasan, 1 orang teman sejawat, dan 8 orang alumni Diklat Training of Trainers (TOT) yang diselenggarakan oleh Badan Diklat Provinsi DIY. secara analisis kuantitatif diperoleh kecenderungan responden hasil perbaikan tingkat kinerja alumni yang baik (46,20%) dan dari hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,71 termasuk dalam kategori baik. Tingkat pendayagunaan alumni menurut kecenderungan terbesar responden diperoleh hasil yang sedang (61,50%), hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 2,98 termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan diperoleh kecenderungan terbesar yang memuaskan (76,92%), hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,78 termasuk dalam kategori baik. Secara umum hasil analisis kualitatif para peserta menginginkan adanya program diklat dapat dilanjutkan, praktek diperbanyak dibandingkan teori, sarana dan prasarana diklat perlu ditingkatkan, Widyaiswara pengampu materi dapat dijadikan contoh dalam proses pembelaaran, dan pemilihan calon peserta dengan standar kompetensi yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam pelatihan.

Kata kunci: kinerja alumni, pendayagunaan alumni, kebutuhan kompetensi, analisis kuantitatif, kecenderungan terbesar respondeni, rerata skor responden, analisis kualitatif.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan dan pelatihan aparatur yang dikenal dengan sebutan diklat aparatur saat ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kompetensi seorang aparatur. Aparatur terdiri dari pejabat struktural Eselon IV, Eselon III, Eselon II, Eselon I, pejabat fungsional tertentu, dan staf pelaksana atau fungsional umum. Kompetensi tersebut terdiri dari aspek kognisi, afeksi, dan psikomotoris, sehingga diharapkan dengan terselenggaranya diklat aparatur tersebut para birokrat/aparatur/pegawai negeri sipil (PNS) akan menjadi profesional dalam melaksanakan pelayanan publik maupun tugas dan fungsinya dalam kelembagaan birokrasi.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan Dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 198 Pasal 2 menyebutkan bahwa Diklat bertujuan:
1. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi;
2. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa;
3. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat;
4. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.

Mengingat pentingnya tujuan diklat aparatur tersebut, maka proses penyelenggaraan suatu diklat aparatur perlu mendapatkan perhatian secara khusus dalam setiap unsur-unsur kediklatan aparatur. Unsur-unsur kediklatan aparatur terdiri dari komponen kelembagaan diklat, widyaiswara, sumberdaya manusia penyelenggara diklat, dan program diklat. Widyaiswara merupakan salah satu komponen dalam diklat aparatur yang memerlukan pembekalan secara teknis dan fungsional. Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi adalah dengan menyelenggarakan Diklat Training of Trainers (TOT). Diklat TOT ini diharapkan dapat membekali peserta dalam proses pembelajaran.

Proses pembelajaran dalam diklat aparatur memerlukan persiapan para pengajar, pemateri, penyaji, instruktur, narasumber, fasilitator, dan widyaiswara dalam banyak hal diantaranya metode pembelajaran, memilih model-model pembelajaran, mengelola suasana kelas, dan lain-lain. Selain itu penguasaan substansi materi yang akan diajarkan kepada para peserta memerlukan dukungan kompetensi dari para aparatur yang mendapatkan tugas untuk menyampaikan suatu materi pelatihan.

Mengingat pentingnya Diklat Training of Trainers (TOT) dan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan dari diklat ini sudah tercapai, maka diperlukan evaluasi pascadiklat. Evaluasi pascadiklat berguna untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan dan tingkat capaian kinerja penyelenggaraan Diklat.

B. Identifikasi Masalah
Pendidikan dan pelatihan Training of Trainers (TOT) akan berdampak terhadap kinerja alumni. Seberapa jauh pengaruh diklat terhadap kinerja alumni perlu diteliti lebih lanjut. Beberapa permasalahan dalam upaya melihat pengaruh tersebut diantaranya adalah.

1. Belum adanya tolok ukur yang jelas terhadap kinerja alumni pascadiklat Training of Trainers (TOT).
2. Tingkat pemahaman peserta diklat yang bervariasi.
3. Permasalahan penerapan materi diklat di dalam pelaksanaan tugas proses pembelajaran di kelas.
4. Keterbatasan pemahaman aparatur dalam menguasai perkembangan ilmu pendidikan orang dewasa (andragogi).

C. Batasan Masalah
Mengingat terlalu komprehensifnya masalah dalam menentukan indikator penilaian dampak kinerja alumni, maka diperlukan pembatasan masalah dalam indikator dalam menilai kontribusi Diklat Training of Trainers (TOT) terhadap kinerja alumni. Permasalahan kontribusi diklat Training of Trainers (TOT) dibatasi dalam pengaruh diklat terhadap hal perbaikan kinerja, pendayagunaan alumni, dan tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian evaluasi pascadiklat Training of Trainers (TOT) adalah ”bagaimana kontribusi pendidikan dan pelatihan Training of Trainers (TOT) terhadap kinerja alumni?”.

E. Tujuan
Tujuan pelaksanaan penelitian evaluasi pascadiklat Training of Trainers (TOT) untuk mengetahui seberapa jauh kontribusi pendidikan dan pelatihan Training of Trainers (TOT) terhadap kinerja alumni, adapun tujuan penelitian evaluasi pascadiklat ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui tingkat perbaikan kinerja alumni, yaitu perbaikan tindak kerja alumni yang berkaitan dengan tujuan program Diklat Training of Trainers (TOT).
2. Untuk mengetahui tingkat pendayagunaan alumni, yaitu seberapa jauh pelibatan alumni dalam kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dalam pelatihan.
3. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan, yaitu seberapa jauh kesesuaian materi pelajaran untuk dapat menunjang peningkatan kinerja instansi.

F. Manfaat
Manfaat evaluasi pascadiklat Training of Trainers (TOT) adalah sebagai berikut.
1. Mendapatkan informasi tingkat kinerja alumni, tingkat pemberdayaan alumni, serta penerapan pengetahuan yang diperoleh alumni selama diklat.
2. Umpan balik dalam rangka perbaikan program kediklatan terutama diklat yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi DIY.
3. Mendapatkan Informasi sebagai bahan penentuan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia aparatur Pemerintah Provinsi D.I.Y.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat keberhasilan suatu pelatihan memerlukan feed back atau umpan balik dari berbagai pihak. Hal inilah yang melandasi pentingnya kegiatan evaluasi pascadiklat dilakukan. Efektifitas dan efisiensi suatu pelatihan perlu dilakukan evaluasi yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Selain itu, evaluasi pelatihan juga dipergunakan sebagai dasar untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada baik dalam aspek materi pelatihan, aspek penyelenggaraan, proses belajar maupun aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan pelatihan tersebut. Untuk itu, ada berbagai cara evaluasi yang dapat dipergunakan, baik untuk mengetahui "suasana pelatihan", efektifitas metoda dan media, kemampuan fasilitator, maupun efektifitas penyelenggaraan pelatihan itu sendiri. Dalam Pendidikan Orang Dewasa, evaluasi pelatihan lebih banyak ditekankan pada aspek "perubahan tingkah laku" daripada yang bersifat peningkatan pemahaman. Oleh karena itu, evaluasi pelatihan lebih banyak dilakukan secara partisipatif yang melibatkan seluruh komponen pelatihan.

A. Pengertian Evaluasi
Beberapa peristilahan yang sepadan tetapi berbeda maknanya sehubungan dengan pengertian evaluasi dapat ditinjau dari pemahaman pengertian evaluasi, yaitu ditinjau dari pengertian “evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (measurement), dan “penilaian” (assessment). Ketiga peristilahan tersebut dalam penelitian ini mengandung makna dan maksud yang sama, dan tahapannya dilakukan semuanya.

Evaluasi merupakan salah satu tahapan dalam manajemen: "Controlling". Menurut Blaire R. Worthen (1986) "… Evaluation is one of the most widely discussed but little used…". Untuk dapat mengevaluasi suatu program perlu Penguasaan Teknik Evaluasi dan menghilangkan "Culture Barrier". Diantaranya adalah mampu melakukan kegiatan evaluasi terhadap kegiatan sesuai tupoksi serta mengubah mental set yang resisten terhadap kegiatan evaluasi menjadi pendorong perbaikan program.

Evaluasi didefinisikan sebagai upaya yang seksama untuk mengumpulkan, menyusun dan mengolah fakta, data dan informasi untuk menyimpulkan harga, nilai, kegunaan, kinerja dan lain-lain mengenai sesuatu (barang, program, kegiatan, organisasi, pekerjaan dan lain-lain) serta menggunakan kesimpulan itu dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan (Sarbini, 1995).

Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternative yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan (Arikunto dan Safrudin, 2009).

Evaluasi adalah proses kegiatan atas tindakan atau tindakan yang dilakukan oleh Lembaga Diklat Instansi Pemerintah yang dilakukan secara teratur dan sistematis, dengan menerapkan prosedur ilmiah, dimulai dengan penentuan tujuan, perencanaan pengembangan instrumen, mengumpulkan data.informasi yang valid dan reliabel, penganalisisan data/informasi, dan menafsirkan dengan tujuan untuk menentukan nilau sesuatu dengan cara membandingkan dengan standar penilaian yang sudah disepakati untuk membuat keputusan tentang program pendidikan dan pelatihan (LAN, 2006).

B. Tahapan Evaluasi
Tahapan evaluasi menurut Blain R. Sanders & James R. Sanders, 1984 adalah sebagai berikut:
1. Pemfokusan Evaluasi (Delineating)
• Subyek Evaluasi
• Jenis Data yang akan diambil
• Cara pengambilan data
2. Pengumpulan dan Analisa Data (Obtaining)
• Sumber data
• Jenis data
• Populasi dan metode sampling
• Cara/metode serta instrumen pengumpulan data
3. Penyimpulan, Perumusan dan Penyajian Informasi Hasil Evaluasi (Providing)
• Kinerja program/kegiatan beserta komponennya
• Rumusan alternatif

C. Metoda Evaluasi
Metode evaluasi dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu.
1. Metode Kuantitatif, yaitu metode yang berbasis data kuantitatif dengan teknik analisis data berdasarkan kalkulasi statistik.
2. Metode Kualitatif, yaitu metode yang berbasis data kualitatif.
Fokus pada obyek evaluasi melalui variabel-variabel kegiatan dan informasi kegiatan. Penentuan rencana kerja meliputi penetapan rencana pelaporan, penetapan prioritas kegiatan, penetapan anggota tim dan ketugasannya, dan Penetapan jadwal.
Pengumpulan data dilakukan secara langsung dari sumber data, Pengumpulan data melalui data sekunder, pengumpulan dari sumber data yang lain, dan data dari pengalaman evaluator. Pada tahapan pengumpulan data yang perlu diperhatikan adalah durasi waktu, sebaran lokasi sumber data, biaya yang tersedia, dan hambatan dari responden.
Analisa data dilakukan dengan mengggunakan pendekatan yang tepat dan mudah pengoperasiannya, alokasikan waktu yang panjang, konsultasi dengan ahli, konsultasi dengan user.
Dalam penyimpulan dan perumusan rekomendasi harus link and match dengan tujuan semula, rumusan alternatif rekomendasi harus jelas, skala prioritas terhadap hasil rekomendasi, rekomendasi bersifat operasional baik dari aspek teknis maupun anggaran.
Evaluasi input meliputi kesiapan bahan, kesiapan peralatan, kesiapan tenaga kerja. Evaluasi proses yaitu cara/metoda, sekuensi/pentahapan, alokasi waktu. Evaluasi output untuk mengetahui sesuatu apa yang langsung dapat diperoleh dari pelaksanaan kegiatan. Evaluasi outcome menekankan terhadap kinerja/produk sesuai standarisasi yang ada.

BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian melingkupi deskripsi obyek evaluasi, kriteria evaluasi penilaian metode kuantitatif, serta kriteria evaluasi penilaian metode kualitatif. Metode tersebut merupakan bentuk pendekatan analisis terhadap permasalahan yang ada, dengan mempergunakan parameter-parameter yang berkaitan dengan proses selama pendidikan dan pelatihan dan penerapannya di instansi.

A. Deskripsi Obyek Evaluasi
1. Obyek Evaluasi
Obyek evaluasi pascadiklat adalah adalah Alumni/mantan Peserta Diklat Training of Trainers (TOT) yang pernah diselenggarakan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011, yang diambil sebagai responden secara random sampling terhadap alumni dan Atasan/Bawahan/Teman Sejawat/Pengguna Alumni Diklat Training of Trainers (TOT) Tahun 2012.

2. Peserta Pelatihan
Peserta pelatihan adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah DIY, Kabupaten-kabupaten di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Persyaratan peserta sebagai berikut.
a. Minimal Sarjana Strata 1
b. Ditugaskan oleh Kepala Instansi yang bersangkutan.
c. Memenuhi kriteria administratif yang telah ditentukan oleh Penyelenggara.

3. Pengajar
Materi pelajaran disampaikan oleh para pengajar atau penceramah yang berasal dari.
a. Pejabat Struktural dari LAN RI.
b. Widyaiswara dari LAN RI dan Badan Diklat DIY.

B. Kriteria Evaluasi Penilaian Metode Kuantitatif
Data yang diambil dari responden adalah data penilaian responden terhadap alumni, sehingga pengukuran yang dihasilkan merupakan pengukuran kinerja yang sesungguhnya tetapi lebih merupakan persepsi responden terhadap kinerja alumni. Skor jawaban dengan menggunakan skala Likert (5 pilihan) dengan skor minimal = 1 dan skor maksimal = 5.
Jawaban responden terhadap kuesioner yang telah diberikan kepada alumni Diklat Training of Trainers (TOT), kemudian disusun dan diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) indikator atau variabel, yaitu indikator tingkat perbaikan kinerja alumni, indikator pendayagunaan alumni, dan indikator tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan.
Masing-masing variabel diberikan penilaian atau skor pada tiap-tiap bagian pertanyaan. Total skor yang dicapai masing-masing responden kemudian diklasifikasikan ke dalam 5 kategori yaitu sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan memuaskan.
Jumlah pertanyaan menentukan dalam penentuan kategori yang dipergunakan untuk mengukur variabel. Jumlah pertanyaan yang ada dalam tiap variabel yang terdapat dalam kuesioner yang ditujukan kepada responden alumni diklat, adalah sebagai berikut.
1. Pertanyaan Pilihan Berganda (Multiple Choice).
a. Untuk variabel tingkat perbaikan kinerja alumni : 10 soal.
b. Untuk variabel pendayagunaan alumni: 10 soal.
c. Variabel tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan: 25 soal.

2. Pertanyaan Terbuka sebanyak 6 buah pertanyaan.
Dari jumlah pertanyaan tersebut kriteria penilaian yang dapat dijadikan sebagai kategori penilaian adalah sebagai berikut.
1. Jumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 10 buah.
Jawaban pertanyaan keseluruhan untuk satu responden mempunyai skor maksimum = 50 dan skor minimum = 10. Interval skor dapat dihitung dengan mempergunakan perhitungan sebagai berikut.
Interval yang diperoleh dipergunakan untuk menggolongkan kategori adalah sebagai berikut.
a. Kategori Sangat Kurang : ≤ 18
b. Kategori Kurang : 19 - 26
c. Kategori Sedang : 27 - 34
d. Kategori Baik : 35 - 42
e. Kategori Memuaskan : > 42
2. Jumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 24 buah.
Jawaban pertanyaan keseluruhan untuk satu responden mempunyai skor maksimum = 125 dan skor minimum = 24. Interval skor dapat dihitung dengan mempergunakan perhitungan sebagai berikut.
Interval yang diperoleh dipergunakan untuk menggolongkan kategori adalah sebagai berikut.
a. Kategori Sangat Kurang : ≤ 20
b. Kategori Kurang : 21 - 40
c. Kategori Sedang : 41 - 60
d. Kategori Baik : 61 - 80
e. Kategori Memuaskan : > 80
3. Kriteria Penilaian Hasil Rerata Keseluruhan
Kriteria penilaian kuantitatif yang lain didasarkan pada hasil rerata dari seluruh skor penilaian setiap variabel. Nilai atau skor hasil dari jawaban responden dirata-rata setiap variabel, kemudian hasil rata-rata tersebut kesimpulan hasil evaluasi dapat dilihat dari kriteria penggolongan kategori sebagai berikut.
a. Kategori Sangat Kurang : 0 - 1
b. Kategori Kurang : ≥ 1 - 2
c. Kategori Sedang : ≥ 2 - 3
d. Kategori Baik : ≥ 3 - 4
e.  Kategori Memuaskan: >4
C. Kriteria Evaluasi Penilaian Metode Kualitatif
Evaluasi penilaian dengan metode kualitatif didasarkan dari hasil jawaban responden atas pertanyaan terbuka di dalam kuesioner. Beberapa jawaban yang sama dirangkum menjadi kesimpulan. Jawaban yang berbeda-beda tetap menjadi bahan kesimpulan evaluasi pascadiklat. Meskipun jawaban orang-perorang dari responden diakui mempunyai kelemahan yang berkecenderungan subyektif, tetapi jawaban tersebut tetap diinventarisasi dengan tujuan ke arah penyempurnaan proses penyelenggaraan Diklat Training of Trainers (TOT). Untuk menghindari isian yang subyektif, jawaban yang sifatnya kualitatif dilakukan klarifikasi dengan metode Focus Group Discussion, sehingga dapat menjadi kesimpulan bersama hasil evaluasi pascadiklat Training of Trainers (TOT).
Evaluasi penilaian dengan metode kualitatif tersebut dideskripsikan untuk membuat gambaran secara obyektif, sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarvariabel yang diselidiki yan berkaitan dengan dengan peristiwa atau situasi dan kondisi selama pelatihan. Fenomena atau peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan proses pelaksanaan diklat tersebut berkaitan dengan tindaklanjut Diklat Training of Trainers (TOT), kualitas bahan ajar, sarana dan prasarana belajar, materi pelajaran, widyaiswara, nara sumber, instruktur, panitia, pendamping, dan konsumsi.

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Jumlah Data yang Terkumpul
Dari jumlah 35 orang alumni Diklat Training of Trainers (TOT), dengan cara random sampling diperoleh data dari 8 orang alumni Diklat Training of Trainers (TOT).
Responden yang diundang dalam pertemuan Focus Group Discussion sebanyak 20 orang terdiri dari 15 orang alumni dan 5 orang atasan/bawahan/teman sejawat/pengguna. Dari target responden yang diundang tersebut yang hadir terdiri dari 8 orang alumni, 4 orang atasan langsung sebagai pengguna dari alumni dan 1 orang teman sejawat.

B. Variabel Perbaikan Kinerja Alumni
1. Jumlah Pertanyaan
Untuk mengetahui tingkat perbaikan kinerja alumni diberikan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan untuk diisi atasan, teman sejawat, dan alumni Diklat Training of Trainers (TOT). Pertanyaan tersebut menggambarkan pengaruh diklat terhadap tingkat kompetensi alumni yang berkaitan dengan Training of Trainers (TOT).
2. Kecenderungan Penilaian
Perlu dijelaskan bahwa responden tidak diberikan prediktor masing-masing item kuesioner untuk menentukan besaran penilaian, oleh karena itu kualitas jawaban sangat tergantung dari kemampuan atau sikap responden hasil pelatihan. Namun dari peta jawaban dapat dilihat bahwa kecenderungan jawaban responden dari alumni dapat dikatakan sama. Secara rinci kecenderungan jawaban responden dapat dilihat sebagai berikut.
Dari hasil analisa rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,71, hal ini menunjukkan tingkat perbaikan kinerja alumni Diklat Training of Trainers (TOT) dalam kategori baik.

C. Variabel Pendayagunaan Alumni
1. Jumlah Pertanyaan
Untuk mengetahui tingkat perbaikan kinerja alumni diberikan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan untuk diisi alumni Diklat Training of Trainers (TOT). Pertanyaan tersebut menggambarkan pengaruh diklat terhadap tingkat pendayagunaan alumni yang berkaitan dengan Training of Trainers (TOT).
2. Kecenderungan Penilaian
Dari hasil analisa rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 2,98. Hal ini menunjukkan tingkat pendayagunaan alumni Diklat Training of Trainers (TOT) dalam kategori sedang.

D. Variabel Tingkat Kesesuaian Pengetahuan dan Ketrampilan selama Diklat dengan Kebutuhan Kompetensi di Lapangan.
1. Jumlah Pertanyaan
Untuk mengetahui tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan, responden diberikan kuesioner yang berisi 24 (dua puluh empat) pertanyaan untuk diisi. Pertanyaan tersebut menggambarkan penilaian pada materi pada setiap mata pelajaran dalam Diklat Training of Trainers (TOT).
2. Kecenderungan Penilaian
Dari hasil analisa terdapat dua hasil kesimpulan yang berbeda, pertama dari hasil analisa kecenderungan responden didapatkan hasil yang memuaskan dari kecenderungan 10 orang responden dengan persentasi 76,92. Kedua dari hasil analisa rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,78. Hal ini menunjukkan tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan termasuk dalam kategori Baik.

E. Hasil Evaluasi Penilaian Metode Kualitatif
Evaluasi penilaian metode kualitatif dianalisis berdasarkan hasil dari Focus Group Discussion yang diselenggarakan pada tanggal 9 November 2012 di Badan Diklat DIY., yang diikuti 13 orang peserta. Para responden mengisi atau memberikan jawaban Jawaban atas pertanyaan terbuka. Kemudian hasil jawaban dari para peserta FGD didiskusikan untuk divalidasikan dengan saling memberikan masukan, tambahan, dan klarifikasi hasil jawaban kepada peserta yang lain, kemudian mendiskusikannya untuk diambil suatu kesimpulan.
Hasil dari Focus Group Discussion evaluasi pascadiklat training of trainers adalah sebagai berikut.
1. Jarak waktu yang relatif lama antara evaluasi pascadiklat dengan selesainya diklat (tahun 2011) sehingga menjadi hambatan dalam pengisian kuesioner (faktor lupa karena sudah relatif lama)
2. Peserta yang diikutkan Diklat TOT Umum sebaiknya adalah orang - orang yang terlibat langsung melakukan sosialisasi kebijakan.
3. Materi pembelajaran sebaiknya lebih banyak prakteknya daripada teori.
4. Sebaiknya lebih banyak melibatkan narasumber dari kalangan akademisi kampus, sehingga dapat mentransferkan teori-teori dan keilmuannya yang telah teruji efektivitasnya di lapangan.
5. Aplikasinya Diklat TOT Umum di instansi masing-masing tidak langsung dapat diterapkan dalam waktu singkat, namun akan selalu menyesuaikan dengan momen di instansi dan tupoksi dimana PNS yang bersangkutan.
6. Hasil Kinerja alumni diklat TOT Umum belum dapat langsung secepatnya dapat dilihat, sehingga memerlukan waktu yang cukup untuk mengaplikasikannya
7. Mohon waktu pelaksanaan yang 2 minggu diklat TOT Umum tersebut sebaiknya diperpanjang supaya pelaksanaannya tidak terkesan terburu-buru (mengingat materi yang cukup banyak). Perlu sebuah perencanaan yang tepat tentang siapa saja yang akan menjadi peserta diklat TOT Umum sesuai dengan Tupoksinya.
8. Sarana dan Prasarana sudah cukup memadai.
9. Sebaiknya materi pembelajaran diarahkan kepada Tupoksi dan bersifat aplikatif. Ada ilmu - ilmu yang spesifik yang akhirnya mengarah ke Tupoksi peserta diklat.
10. Waktu pelaksanaan diklat TOT Umum mohon diperpanjang sehingga hasilnya maksimal.
11. Sarana dan Prasarana perlu ditingkatkan.
12. Pengajar harus mampu mengarahkan semua peserta supaya memiliki skill bagaimana menjadi Trainer yang profesional. Kadang - kadang pengajar kurang dapat membimbing peserta meskipun sebenarnya pengajar yang bersangkutan memiliki pengetahuan tentang TOT dan ”knowledge” yang memadai, namun kurang dapat komunikatif.
13. Diklat Training of Trainers (TOT) ini pengaruhnya sangat positif di instansi. Perlu diteruskan program ini, namun perlu lebih spesifik.
14. Sarana dan prasarana cukup baik, tidak ada hambatan/masalah yang signifikan.
15. Petugas pendamping cukup baik.
16. Perlu pemantauan secara periodik terhadap kinerja alumni. Misalnya setiap 6 bulan sekali.
17. Materi Diklat TOT Umum sudah relevan diterapkan di instansi. Saran : sebaiknya seluruh PNS diajarkan materi ini, karena PNS harus mampu mentransferkan ilmu, kebijakan, pengetahuan umum, dan lain-lain.
18. Pendidikan Karakter perlu dimasukkan ke dalam materi Diklat TOT Umum.
19. Diklat Training of Trainers (TOT) sangat bermanfaat dalam menambah bekal mengikuti diklat – diklat kewidyaiswaraan lainnya.
20. Peserta Diklat TOT Umum belum seluruhnya mendapat kesempatan praktek di dalam pembelajaran tersebut. Mohon kiranya diperpanjang waktu untuk prakteknya.
21. Pengajar cukup baik dalam memberikan materi dan membimbing peserta.
22. Dari segi waktu, bukan masalah pelaksanaan diklatnya yang diperpanjang, namun dengan waktu yang telah ditentukan dapat menuntaskan materi dan memberikan manfaat yang maksimal bagi peserta Diklat Training of Trainers (TOT).
23. Para peserta Diklat Training of Trainers (TOT) rata-rata telah memiliki pengalaman bertahun-tahun di dalam profesinya, namun Diklat Training of Trainers (TOT) ini lebih mengarahkan peserta supaya menjadi trainer yang terstruktur di dalam performance-nya di instansi masing-masing.
24. Badan Diklat DIY selalu berkoordinasi dengan BKD terkait di dalam proses perencanaan Diklat TOT Umum supaya tepat dalam menentukan siapa yang mengikutinya.
25. Masukan dari peserta akan dituangkan ke dalam draft guna peningkatan pelaksanaan Diklat Training of Trainers (TOT) maupun sarana dan prasarananya di Badan Diklat DIY.
26. Diklat Training of Trainers (TOT) perlu selalu dilaksanakan mengingat manfaatnya yang amat banyak bagi PNS
27. Tindak lanjut Diklat Training of Trainers (TOT) ini hendaknya diseminarkan, sehingga tidak hanya sebatas di- Rakor-kan

BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hasil evaluasi pascadiklat Training of Trainers (TOT) didasarkan dari hasil kuesioner terhadap atasan, dan teman sejawat, dan alumni diklat Diklat Training of Trainers (TOT). Dari data dan uraian dalam analisis dan pembahasan, maka dalam upaya mengetahui kontribusi pendidikan dan pelatihan Training of Trainers (TOT) terhadap kinerja alumni dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Responden mempunyai kecenderungan terbesar pada perbaikan tingkat kinerja alumni yang baik (46,20%). Hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,71 termasuk dalam kategori baik.
2. Responden mempunyai kecenderungan terbesar pada pendayagunaan alumni yang sedang (61,50%). Hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 2,98 termasuk dalam kategori sedang.
3. responden mempunyai kecenderungan terbesar mengenai tingkat kesesuaian pengetahuan dan ketrampilan selama diklat dengan kebutuhan kompetensi di lapangan yang memuaskan (76,92%). Hasil rerata keseluruhan skor responden didapatkan angka 3,78 termasuk dalam kategori baik.
4. Hasil analisa kualitatif menunjukkan perlunya tindaklanjut Diklat Training of Trainers (TOT) dalam bentuk penyelenggaraan diklat lanjutan. Diklat dilaksanakan secara berkala disesuaikan dengan hasil analisis kebutuhan diklat yang diperlukan oleh instansi-instansi di lingkungan wilayah DIY.
5. Perumusan tujuan dan sasaran diklat tidak diarahkan secara langsung untuk menjadi widyaiswara, mengingat proses rekruitmen widyaiswara sudah ada panduan secara khusus dari LAN RI. Tujuan dan sasaran sebaiknya diarahkan kepada penyiapan peserta diklat sebagai calon fasilitator yang dapat memberikan pembelajaran dengan metode andragogi.
6. Beberapa jawaban responden atas pertanyaan terbuka dan hasil FGD terhadap bahan ajar perlu ditingkatkan secara lebih lengkap lagi, tidak hanya dalam bentuk bahan tayang tetapi perlu disiapkan modul dan materi pelengkap modul sebagai referensi dan pengembangan substansi materi. Di dalam penyampaian materi diharapkan praktek lebih diperbanyak dibandingkan teori.
Pemilihan calon peserta disesuaikan dengan standar kompetensi yang sesuai dengan tujuan diklat.
Sarana prasarana sudah cukup tetapi perlu ditingkatkan dari sisi ketersediaan mick dalam bentuk wireless, sehingga diharapkan pengajar dan peserta bisa bergerak leluasa tanpa ada hambatan keterbatasan panjang kabel mick. Mengenai bangku dan meja perlu didisain agar setiap saat bisa diatur dengan cepat dan mudah, sehingga setting ruangan kelas selalu dnamis yang selalu disesuaiakan dengan metode pembelajaran.
Pengajar merupakan widyaiswara yang berpengalaman dalam proses pembelajaran dan mampu menjadi contoh secara langsung proses pembelajaran dengan metode andragogi.
Penyelenggara diklat baik sebagai petugas piket, pengamat, atau pendamping selalu aktif mengontrol ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh peserta dan widyaiswara.
Konsumsi sudah baik tetapi perlu peningkatan dari sisi variasi menu dan rasa.

B. SARAN
1. Melihat hasil evaluasi yang menunjukkan adanya peningkatan kompetensi alumni diklat yang baik, diharapkan Diklat Training of Trainers (TOT) dapat dipertahankan penyelenggaraannya secara berkala disesuaiakan dengan hasil analisis kebutuhan diklat instansi-instansi di wilayah DIY.
2. Simulasi dan praktek perlu ditambah prosentasenya dalam proses pembelajaran untuk menambah ketrampilan aplikatif dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran.
3. Dukungan dari para top manajer untuk memprogramkan pelaksanaan Diklat secara berjenjang mulai dari tingkat dasar, lanjutan, dan tinggi sesuai dengan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 14 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Pola Penjenjangan Pendidikan Dan Pelatihan Teknis. Proses pemrograman diklat tersebut dilaksanakan oleh Badan Diklat Provinsi DIY bekerjasama dengan Instansi teknis terkait di Tingkat Pusat dan instansi teknis lingkungan Pemda Provinsi DIY, guna menambah eksistensi Diklat Training of Trainers (TOT) di jajaran aparatur Pemda Provinsi D.I.Y.
4. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Training of Trainers (TOT) diharapkan dapat berlangsung secara terpadu dan berkesinambungan, antara pilar-pilar diklat yaitu kelembagaan diklat, program diklat, sumberdaya penyelenggara diklat, dan widyaiswara dengan dukungan penuh seluruh instansi dan policy maker dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia aparatur Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Pratista, A. 2005. Aplikasi SPSS10.05 dalam Statistik dan Rancangan Percobaan. CV. Alfabeta. Bandung.
Deliveri Organization. 2006. Modul 15 Evaluasi Program Pelatihan. www.deliveri.org/guidelines/training/tm15/tm15_modul15i.htm. 27-6-2006.
Djarwanto, P.S., Subagyo, P.1985. Statistik Induktif. BPFE. Yogyakarta.
Lembaga Administrasi Negara RI. 2006. Evaluasi Purna Diklat, Modul Diklat Kewidyaiswaraan Tingkat Madya. LAN RI. Jakarta. Hal 20.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 151.
Arikunto, A., Safrudin A.J., C. 2010. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoretis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Bumi Aksara. Edisi 2. Jakarta.




Selasa, 30 Oktober 2012

PENGERTIAN, HAKEKAT, DAN MAKNA KECERDASAN SPIRITUAL

Beberapa pengertian tentang kecerdasan spiritual dari berbagai sumber sebagai berikut.
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai- nilai positif. SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna. Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_spiritual, diakses tanggal 5-10-2012).

Menurut Ary Ginanjar Agustian (2003) menjelaskan bahwa Spiritual Quotient (SQ) berisi suara hati dan hati adalah bagian dari aspek spiritualitas. Emosi adalah getaran pada kalbu yang terjadi akibat tersentuhnya spiritualitas seseorang. God Spot berisi kekuatan spiritual manusia yang tertutup oleh berbagai belenggu, paradigma atau cover.

Menurut Harjani Hefni (2008) menerangkan bahwa suara hati adalah suara kebenaran yang ditiupkan Allah kepada manusia bersamaan dengan peniupan ruh pada jasad. Suara hati tidak bisa dibohongi dan berkata apa adanya. Suara hati mempunyai berbagai pengaruh positif terhadap jiwa. Untuk lebih memahami suara hati memerlukan pemahaman dan pengenalan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sebab konsekwensi dari tuntutan nama-nama dan sifat-sifat Allah itulah ditiupkan kepada kita dan menjadi suara hati yang tertancap kokoh di alam sanubari.

Manusia dikarunia Tuhan Yang Maha Kuasa potensi luar biasa berupa pikiran yang perlu dikelola dengan baik. Dalam pikiran tersebut ada dua hal yang melandasi sifat, sikap, dan perilaku seseorang, yaitu pikiran yang negatif dan positif. Dalam kehidupan nyata sifat positif dan negatif tersebut tercermin dalam perbuatan baik dan buruk.

Pikiran yang dapat terkelola dengan baik akan berdampak positif dalam kehidupan, orang yang cerdas mempunyai kelebihan dalam mengolah dan menggunakan informasi yang terekam dalam otaknya. Akan tetapi dalam kehidupan tidak hanya cukup dengan kecerdasan otak (Intelektual Quotient disingkat dengan IQ), perlu diseimbangkan dengan Kecerdasan Spiritual (Emotional Quotient disingkat dengan EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient disingkat dengan SQ). Sehingga dengan pengelolaan pikiran yang seimbang terhadap ketiga kecerdasan tersebut yaitu IQ, EQ, dan SQ maka kehidupan yang diharapkan oleh semua orang (paripurna) atau suksesnya seseorang dalam berkarir akan mudah didapatkan.

Sabtu, 29 September 2012

TUNTUTAN PERUBAHAN POLA PIKIR APARATUR PEMERINTAH DALAM PELAYANAN PUBLIK

ABSTRAK

Pelayanan birokrasi pemerintahan saat ini banyak mendapatkan kritikan tajam dari berbagai lapisan masyarakat, terutama kinerja aparatur pemerintah yang  masih belum dapat memenuhi standar harapan yang diinginkan publik. Masyarakat menginginkan prestasi kerja aparatur yang maksimal sesuai dengan kapasitas yang dimiliki para pegawai negeri sipil. Akan tetapi pola pikir aparatur pemerintah dalam pelayanan publik tetap saja belum ada perubahan yang signifikan. Para aparatur pemerintah berkecenderungan mempunyai pola pikir negatif dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dampaknya masyarakat mempunyai persepsi yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah, aparatur pemerintah dinilai lamban, kurang responsif, tidak disiplin, korup, dan citra-citra negatif lainnya, walaupun sebenarnya tidak semua aparatur  pemerintah melakukan hal-hal negatif tersebut. Untuk mengatasi tuntutan kualitas pelayanan publik tersebut, maka semangat mengaktualkan agenda reformasi birokrasi dalam setiap kebijakan pengembangan sumberdaya manusia aparatur perlu segera direlisasikan. Pembentukan pola pikir positif bagi setiap aparatur pemerintah merupakan salah satu agenda manajemen stratejik yang mendesak untuk dilaksanakan dalam setiap sektor atau bidang pelayanan publik. Kreativitas dan inovasi dalam memahami dan melayani masyarakat sesuai tugas pokok dan fungsi aparatur sesuai dengan kewenangan lembaganya harus dilaksanakan secara ikhlas dan bertanggungjawab. Aparatur memerlukan pola pikir dalam setiap melaksanakan pekerjaannya sebagai pelayan abdi negara dan masyarakat. Dukungan kompetensi dari sisi kemampuan menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, ketrampilan dalam berkarya, dan sikap perilaku yang baik akan dapat meningkatkan citra pelayanan publik menjadi semakin baik, amanah, dan profesional.

Kata kunci: pelayanan publik, kinerja, citra negatif, masyarakat, pola pikir, aparatur pemerintah, profesional
LATAR BELAKANG
Tuntutan perubahan pola pikir para aparatur pemerintah dalam pelayanan publik perlu segera ditindaklanjuti  dan disikapi secara positif dalam rangka mengontrol terhadap upaya peningkatan kinerja aparatur. Prestasi kerja aparatur akan tercermin dari seberapa jauh para abdi negara dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Citra pelayanan birokrasi akan semakin terpuruk apabila keluhan, kritik, dan saran masyarakat diabaikan begitu saja. Apabila hal tersebut dibiarkan begitu saja secara terus menerus tanpa ada upaya perbaikan, tentu akan dapat berdampak kepada pencitraan kondisi kepemerintahan saat ini. Jalannya kepemerintahan akan terkesan buruk di mata masyarakat, pemerintah akan dinilai lamban dalam bertindak dalam merespon setiap kebutuhan publik.
Kondisi kepemerintahan yang buruk sangat bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang saat ini sedang didengung-dengungkan. Oleh karena itu perlu ditumbuhkembangkan pola pikir kepemimpinan aparatur yang bertanggung jawab dan inovatif terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing aparatur sebagai penyelenggara negara melalui lembaga dimana aparatur tersebut berkarya. Kreativitas dan inovasi aparatur sebagai pelayan masyarakat sangat diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat menginkan pelayanan birokrasi yang prima, ramah, mudah, cepat, tepat, dan inovasi-inovasi yang terus menerus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


TUNTUTAN PERUBAHAN POLA PIKIR APARATUR PEMERINTAH
            Pelayanan birokrasi pemerintahan saat ini banyak mendapatkan sorotan dan kritikan tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang ramah dengan senyum, salam, dan sapa, transparan, bertanggungjawab, adil, dan  akuntabel. Banyaknya perilaku-perilaku negatif para aparatur pemerintah membuat masyarakat menjadi kurang percaya lagi pada pemerintahnya. Hal ini perlu segera disikapi dengan serius dan ditindaklanjuti dengan agenda-agenda yang jelas dan mengenai sasaran, terutama dari sisi proses pengembangan sumberdaya manusia aparatur.
            Berikut ini beberapa cuplikan pernyataan-pernyataan yang merupakan contoh-contoh kasus aktual yang banyak diperbincangkan di berbagai media, dan menggambarkan kondisi pola pikir aparatur pemerintah saat ini, yang memerlukan tindak lanjut dan sikap yang responsi dari pemerintah, sebagai berikut.
Kasus 1.
"Mayoritas disebabkan oleh sumber daya manusia yakni pola pikir yang masih ingin dilayani. Padahal seharusnya dia menjadi pelayan bagi masyarakat," ujar Wiharto di sela-sela diskusi penilaian pelayanan publik di Jakarta, Kamis, 9-8-2012.PNS yang mempunyai pola pikir seperti itu, lanjut dia, memperburuk pelayanan publik meskipun sarana dan prasarana sudah baik. "Kalau pola pikirnya sebagai pelayan masyarakat, pasti tidak akan begitu terpengaruh jika sarana dan prasarana belum baik," ujarnya. Oleh karena itu, Kemenpan terus mendorong terciptanya reformasi birokrasi, tata laksana, dan prosedur yang mulai digulirkan pada tahun ini. Kemenpan menilai pelayanan publik di Tanah Air masih lemah di berbagai sektor. Misalnya masyarakat mengeluhkan tidak tepat waktunya seperti yang terjadi di Puskesmas, pungutan liar dalam pembuatan sertifikat tanah dan lainnya. "Kemenpan terus mendorong agar setiap instansi publik menerapkan UU 25/2009 tentang pelayanan publik. Jika itu diterapkan, maka akan mengurangi terjadinya penyimpangan," katanya”. (Sumber: Kemenpan : pola pikir PNS masih ingin dilayani. http://www.depdagri.go.id/news/2012/08/10/kemenpan-pola-pikir-pns-masih-ingin-dilayani, diakses 25-9-2012)

Kasus 2
“Birokrasi yang kronis terlihat dari membudayanya perilaku korup dan rendahnya pelayanan publik. Tata kelola pemerintahan yang baik hanya sebatas wacana. Untuk mengatasi kondisi birokrasi seperti itu, maka pola pikir pegawai negeri sipil harus diubah, dan itensifkan pengawasan serta transparansi agar tidak terus terjadi pembusukan.”Birokrasi mengalami pembusukan dari dalam ketika intervensi politik berlangsung intensif serta perselingkuhan politik dan birokrasi meningkat,” tutur peneliti kebijakan publik LIPI, Siti Zuhro, di Jakarta, Jumat (4/5/2012). (Sumber: Pola Pikir PNS Mesti Berubah. Kompas.com. http://bangka.tribunnews.com/2012/05/05/pola-pikir-pns-mesti-berubah. Diakses 25-9-2012)

ANALISIS DAN STRATEGI PEMBENTUKAN MIND SETTING APARATUR                            Dari kedua kasus tersebut terlihat sorotan publik terhadap birokrasi, tercermin keinginan masyarakat terhadap para pegawai negeri sipil untuk meningkatkan kinerjanya. Aparatur pemerintah masih belum dapat memenuhi standar harapan yang diinginkan publik. Masyarakat menginginkan prestasi kerja aparatur yang maksimal sesuai dengan kapasitas yang dimiliki para pegawai negeri sipil. Akan tetapi pola pikir aparatur pemerintah dalam pelayanan publik tetap saja belum ada perubahan yang signifikan. Pola pikir masih ingin dilayani kecenderungannya lebih besar dibandingkan dengan yang seharusnya melaksanakan pelayanan sebaik mungkin.
            Para aparatur pemerintah berkecenderungan mempunyai pola pikir negatif dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dampaknya masyarakat mempunyai persepsi yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah, aparatur pemerintah dinilai lamban, kurang responsif, tidak disiplin, korup, dan citra-citra negatif lainnya, walaupun sebenarnya tidak semua aparatur  pemerintah melakukan hal-hal negatif tersebut
Responsivitas terhadap perkembangan keperluan hajat hidup masyarakat yang berkencenderungan terus meningkat tersebut, memerlukan penerapan secara nyata dalam pelaksanaan ketugasan pokok dan fungsi setiap aparatur pemerintah. Pensikapan secara nyata tersebut akan tercermin dalam setiap proses pelayanan publik yang diberikan.
Penanaman pola pikir positif dalam diri setiap aparatur akan mendorong upaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan kinerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan publik. Pola pikir akan membentuk konsep diri seorang aparatur yang bekerja sebagai pelayan masyarakat. Adapun konsep diri yang diharapkan terjadi pada setiap birokrat menurut antara lain dapat dilihat dalam tabel konsep diri pola pikir aparatur pemerintah, yang menggambarkan antara kondisi pola pikir yang seharusnya dan yang tidak diharapkan dalam pelayanan publik (hasil analisis dan modifikasi penulis dari sumber LAN, 2011).

 

Tabel Perbandingan Konsep Diri dan Aktualisasi Kegiatan
Pembentukan Pola Pikir Aparatur Pemerintah dalam Pelayanan Publik

No.
Pola Pikir Negatif
Kondisi yang tidak diharapkan
Pola Pikir Positif
Kondisi yang diharapkan
Aktualisasi Kegiatan Pembentukan Pola Pikir Aparatur Pemerintah
1.
Bekerja sebagai beban, dan pamrih yang berlebihan
Bekerja sebagai Ibadah
Meningkatkan kecerdasan spiritual, penuh rasa syukur, tawakal, dan ikhlas
2.
Perilaku koruptif, manipulatif, sombong, dan egois
Menghindari sikap tidak terpuji
Jujur, Sopan, mudah menolong, menjadi pendengar yang baik, dan selalu menjaga perkataan dan perbuatan yang baik
3.
Bekerja malas-malasan, tidak menghargai waktu dan beban kerja
Bekerja secara profesional
Disiplin, selalu berupaya meningkatkan kompetensi dengan mengikuti pendidikan lanjutan, diklat, seminar, dan kelompok ilmiah
4.
Apatis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Berusaha meningkatkan kompetensi dirinya secara terus menerus
Melanjutkan studi lanjutan, diklat, dan memperbanyak jejaring
5.
Bertindak sebagai bos yang selalu minta dilayani dan sewenang-wenang terhadap masyarakat
Pelayan dan pengayom masyarakat
Senyum, salam, sapa, santun, responsif, meningkatkan intergritas dan amanah pada pekerjaan
6.
Bekerja atas dasar kemauan sendiri yang dinilai menguntungkan pribadi
Bekerja berdasarkan peraturan yang berlaku
Bijaksana, mau mengerti, tanggung jawab, dan tegas.
7.
Menolak perbaikan perubahan dan tertutup, serta tidak realistis
Tidak rentan terhadap perubahan dan terbuka serta bersikap realistis.
Sikap selalu terbuka, responsif, dan menerima apa adanya.


PENUTUP
Pola pikir positif perlu ditanamkan pada setiap aparatur pemerintah atau pegawai negeri sipil. Tuntutan perubahan pola pikir aparatur pemerintah dalam pelayanan publik diharapkan akan menjadi pemicu segera dilaksanakannya reformasi birokrasi di berbagai sektor pelayanan publik. Dengan demikian kinerja aparatur menjadi meningkat dan membawa pengaruh keberhasilan pencapaian visi dan misi organisasi.
Aparatur yang mempunyai pola pikir positif dalam pelayanan publik, artinya aparatur tersebut ramah, disiplin, semangat, pekerja keras, terampil, dan cerdas dalam melaksanakan setiap tahapan pelayanan publik akan berdampak terhadap lingkungan kerjanya. Lingkungan organisasi yang baik yang menumbuhkembangkan budaya kerja tidak lepas dari pengaruh pola pikir masing-masing aparatur dalam organisasi tersebut. Begitu juga budaya kerja yang sudah terbiasa dilakukan dalam organisasi akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam bekerja. Kondisi lingkungan yang positif dan dinamis akan membawa perubahan dalam pelayanan instansi kepada masyarakat dan stakeholders yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan instansi tersebut.

RUJUKAN
LAN. 2011. Pembentukan Pola Pikir. Modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. LAN RI, Jakarta.
LAN, 2011. Peraturan Kepala LAN No. 9 Tahun 2011 Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV.
www.Bangka.tribunenews.com. Pola Pikir PNS Mesti Berubah. Kompas.com. http://bangka.tribunnews.com/2012/05/05/pola-pikir-pns-mesti-berubah. Diakses 25-9-2012
www.depdagri.go.id. Kemenpan : pola pikir PNS masih ingin dilayani. http://www.depdagri.go.id/news/2012/08/10/kemenpan-pola-pikir-pns-masih ingin-dilayani. Diakses 25-9-2012.
 

Kamis, 02 Agustus 2012

BELAJAR PENGELOLAAN PARIWISATA DARI NEGERI SEBERANG

Pariwisata merupakan potensi sumberdaya pembangunan bagi setiap pemerintah daerah di Indonesia. Potensi tersebut akan menjadi aset utama dan membangkitkan perekonomian lokal apabila pemerintah secara konsekuen membuat program pengelolaan pariwisata dan melaksanakan program tersebut secara terpadu dan berkelanjutan. Lingkup pengelolaan pariwisata saat ini perkembangannya sangat luas dan menyangkut peranan dan fungsi masing-masing stakesholders yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan pariwisata. Artinya setiap pengelolaan destinasi wisata perlu melibatkan sektor-sektor yang terkait. Pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu duduk bersama membahas prospeksi ke depan dari setiap destinasi wisata yang ada di wilayah pemerintah daerah masing-masing, sehingga akan diperoleh bentuk komitmen bersama dalam pengelolaan pariwisata suatu daerah. Prospeksi ke depan suatu kawasan wisata menjadi tolok ukur keberhasilan perlu dan tidaknya kawasan tersebut dikembangkan potensi   pariwisatanya, karena tanpa perencanaan ke depan yang jelas ke depan akan menimbulkan kesan memaksakan kawasan wisata tersebut untuk dikembangkan. Sebab tidak setiap potensi wisata akan berhasil menjadi prospektif, dan tidak setiap potensi wisata dikembangkan, perlu dilihat terlebih dahulu studi kelayakannya terutama dari sisi rencana tata ruang wilayah yang ada. Pemerintah perlu mempelopori penetapan kawasan-kawasan mana yang prospek dan tidak dengan regulasi-regulasi yang diperlukan.
Investasi dengan dukungan peraturan-peraturan yang legal formalnya jelas akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi para investor untuk tidak tanggung-tanggung menanamkan modalnya dalam upaya pengembangan destinasi wisata suatu kawasan. Banyak contoh destinasi wisata yang berhasil dikembangkan di Indonesia, dan menjadi daya tarik wisatawan-wisatawan baik domestik maupun non domestik. Misalnya kawasan-kawasan wisata di Bali, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Bunaken, Danau Toba, Taman Laut Raja Ampat dan banyak lagi destinasi-destinasi wisata di Indonesia. Akan tetapi tidak salah apabila dalam pengembangan wisata ke depan Pemerintah perlu juga belajar pengelolaan wisata ke depan dari negeri seberang, misalnya Malaysia, yang saat ini mereka sudah merasa bahwa asia atau melayu yang asli itu adalah Malaysia dengan brand image yang dikenalkan yaitu "Malaysia Truly Asia". Sementara Singapura mengenalkan pariwisatanya dengan brand image "Uniquely Singapore", Thailand dengan "Amazing Thailand". Dengan brand image tersebut seolah-olah menunjukkan jati diri bangsa mereka sebagai bangsa yang nomer satu dari keasliannya, keunikannya, dan kehebatannya. Sehingga brand image "Visit Indonesia" perlu dikaji lagi agar lebih membawa dampak atau imajinasi tentang keluarbiasaan dari Indonesia dalam pariwisatanya. Kekonsistensian dalam penggunaan brand image perlu juga ditekankan, sehingga tidak berubah-ubah setiap tahunnya atau setiap ganti pemimpin sebagai pejabat publik yang baru.


Kelemahan mendasar dalam pengelolaan destinasi pada setiap kawasan wisata di Indonesia adalah menata masalah kedisiplinan dari berbagai hal, mulai dari penataan pedagang kaki lima, pengelolaan kebersihan dan pembuangan sampah, transportasi dan aksesibilitas yang sulit, serta penggunaan jalan raya yang terasa sempit sehingga menimbulkan kemacetan, sulitnya mengatur antrian para wisatawan domestik, penataan lahan yang tidak pas dengan peruntukannya, minimnya sarana MCK, dan lain-lain.
Banyaknya masalah tersebut mengingatkan perlunya segera dilakukan pembenahan-pembenahan dan ketegasan dari Pemerintah, kalau konsekuen ingin menata destinasi wisatanya sehingga dapat berkelas dunia dan menjadi favorit di mata dunia internasional. Misalnya masalah penataan pedagang, di Singapura dan Malaysia jarang sekali di sepanjang kanan kiri jalan menuju tempat wisata atau di jalan-jalan umum biasa dijumpai para pedagang yang mempergunakan jalan tempat pejalan kaki. Para pedagang ditempatkan pada suatu kawasan khusus yang ditata rapi dengan tertib disertai sarana dan prasarana yang ada. Sangat jarang bahkan bisa dikatakan sulit dijumpai adanya pedagang asongan. Mereka tertib dan mendisiplinkan diri berjualan pada tempatnya, dan tentu saja dengan kontrol yang terus menerus dalam penegakan aturan yang tegas dari aparat keamanan.
Hampir di setiap tempat mudah dijumpai tempat-tempat pembuangan sampah, bahkan di Jepang tempat pembuangan sampah terbagi menjadi beberapa kotak sampah yang membedakan antara sampah plastik, botol plastik, sampah dapat dibakar, barang-barang yang beracun misalnya baterai. Tempat pembuangan sampah tersebut tersusun rapi dan bersih serta tidak ada yang berani merusaknya.
Banyak hal yang perlu dipelajari dari negeri seberang dalam pengelolaan pariwisata di Indonesia. Hal tersebut dapat dipergunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pengelolaan pariwisata di Indonesia. Oleh karena itu program, target, dan capaian kinerja yang berstandar internasional dari berbagai stakeholders yang terkait dengan pengelolaan pariwisata di Indonesia perlu segera berbenah diri untuk mendisiplinkan semua pihak yang memanfaatkan industri pariwisata sebagai mata pencaharian yang prospek untuk dikembangkan. Pemerintah perlu mempelopori semuanya ini dengan konsekuensi dan tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan. Dengan demikian diharapkan pariwisata di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah dengan tetap mengedepankan rasa kenyamanan dan kepuasan para wisatawan.

Rabu, 11 Juli 2012

PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Undang-undangNo. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan daerah menuntut kesiapan Pemerintah Daerah untuk melakukan proses perencanaan yang terpadu dan berkelanjutan. Hal tersebut sudah menjadi komitmen para komponen pembuat kebijakan atau para policy maker di tingkat pusat, yang merupakan pencerminan aspirasi masyarakat saat ini. Eksekutif dan legislatif telah menyepakati model perencanaan pembangunan yang harus dilaksanakan di semua level pemerintahan yang ada di Indonesia, mulai dari tingkat kementerian, lembaga negara, pemerintah pusat, maupun daerah haru konsekuen melaksanakan kebijakan yang sudah tertuang dalam piranti perundang-undangan. Oleh karena itu mau tidak mau, tahu maupun tidak wajib melaksanakan.

Sabtu, 30 Juni 2012

DIKLAT PERSIAPAN PENSIUN

Ketika PNS akan menghadapi saat pensiun, tentu memerlukan sebuah kesiapan mental yang kuat dalam menghadapi saat-saat yang mungkin sebagian besar aparatur tidak menghendakinya. Oleh karena itu dalam rangka menghadapi masa pensiun bagi para PNS, diperlukan pembekalan dalam bentuk diklat atau pelatihan ketrampilan agar mereka (para Calon Pensiunan) dapat mengisi waktu luang untuk kegiatan yang bermanfaat. Paling tidak untuk mengurangi kejenuhan yang akan mereka hadapi.

Kamis, 31 Mei 2012

KONSEPSI KINERJA APARATUR

Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890)).


Para aparatur pegawai negeri sipil yang dituntut mempunyai profesionalisme sesuai dengan tugas jabatannya. Melaksanakan setiap bidang kerja sesuai dengan tugas dan fungsi secara strutural organisasi yang kredibel menjadi salah satu tugas dan kewajiban jabatan yang harus dilaksanakan dengan amanah dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Peningkatan kinerja aparatur merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan program pengembangan sumberdaya manusia aparatur.

Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut (Bastian, 2001).

Performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika (Prawirosentono, 1999).

Perencanaan peningkatan kinerja aparatur perlu dilakukan setiap akan melaksanakan kegiatan. Banyak teknik perencanaan kinerja dalam bentuk teknik analisis manajemen yang dapat membantu aparatur untuk meningkatkan kinerjanya, salah satunya adalan teknik analisis manajemen SWOT dan Pola Kerja Terpadu.

Beberapa pendekatan insentif dalam bentuk remuneration cost (biaya langsung personil) terhadap pegawai negeri sipil pada saat ini telah banyak dilakukan di berbagai lembaga/organisasi pemerintah saat ini baik di tingkat pusat atau daerah. Aparatur yang kinerjanya baik dengan beban kerja yang dapat mempertanggungjawabkan dari kewajiban bekerja selama 37,5 jam per minggu akan mendapatkan insentif dalam bentuk remunerasi. Artinya aparatur tersebut harus dapat menghasilkan output dan outcome yang jelas dari setiap harinya mereka bekerja.

Konsepsi kinerja aparatur pada dasarnya selalu berkembang dengan berbagai sudut pandang pendekatan yang secara umum mengarah ke upaya peningkatan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. PNS yang bekerja giat dan keras dialah yang berhak mendapatkan reward, sementara PNS yang berkecenderungan tidak bisa mempertanggunjawabkan apa saja yang harus dia kerjakan setiap harinya perlu dievaluasi lagi remunerasi yang sudah dia dapatkan.

Akhirnya dalam konsepsi kinerja aparatur ini yang perlu digarisbawahi adalah perlunya upaya menciptakan keseimbangan dalam reward atau remunerasi di semua lembaga-lembaga pemerintah. Agar tidak terjadi hanya lembaga-lembaga tertentu saja yang didahulukan remunerasinya, tetapi perlunya keadilan dan keseimbangan dalam pendapatan secara proporsional dan profesional.

Rabu, 25 April 2012

URGENSITAS DIKLAT PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Penerapan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (TambahanLembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 5136) menuntut aparatur untuk lebih teliti dalam memahami setiap detil tahapan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Ketidaktelitian aparatur yang terlibat dalam tahapan proses pengadaan barang/jasa akan mengakibatkan dampak permasalahan hukum yang harus ditanggung para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa. Para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa terdiri dari Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa (ULP)/Pejabat Pengadaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, dan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah.

Kurangnya pemahaman dalam sistem pengadaan barang/jasa perlu ditindaklanjuti dengan proses peningkatan kompetensi para pihak yang terkait, terutama aparatur penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil yang aktif terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan salah satu upaya peningkatan kompetensi aparatur tersebut.

Keberhasilan proses pengadaan barang/jasa pemerintah sangat tergantung pada ketersediaannya sumber daya manusia aparatur yang kompeten dan berpengalaman di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Kondisi saat ini pada umumnya di berbagai Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Instansi masih kekurangan ahli-ahli pengadaan barang/jasa pemerintah yang sudah mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah. Padahal untuk dapat melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang kredibel diperlukan sumberdaya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas yang memadai.

Oleh karena itu Pemerintah saat ini dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia tersebut harus secara terus-menerus berupaya memberikan pemahaman dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah. Baik melalui sosialisasi maupun menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah, hal ini diharapkan akan menunjang kemampuan para aparatur yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa menjadi tenaga yang siap pakai pada unit kerja masing-masing. Terutama dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah di setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).