Pengembangan Karier dan jabatan Widyaiswara pada saat ini ada beberapa permasalahan yang perlu penyamaan persepsi dari berbagai pihak terkait, setelah dilakukan identifikasi masalah, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.Pengembangan karir dan kebijakan jabatan fungsional tertentu Widyaiswara mengacu pada aturan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No: 14 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya dan Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN No. 1 Tahun 2010, No, 2 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
2.Peraturan tersebut di atas dalam pelaksanaannya masih banyak menimbulkan perbedaan persepsi yang sangat menghambat dalam peningkatan profesionalisme dan pengembangan karir Widyaiswara, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.Masih dijumpai adanya pembatasan ketugasan widyaiswara dalam tiap jenjang jabatan Widyaiswara Pertama, Muda, Madya, dan Utama.
Diperoleh informasi bahwa saat ini dapat dikatakan sebagai masa transisi yang berlangsung sampai proses sertifikasi widyaiswara di tahun 2014 sesuai dengan kapasitas dan kompetensi rumpun pendidikan atau spesialisasi mata pelajaran.
Masih dilakukan pengkajian spesialisasi widyaiswara yang terbaik, apakah didasarkan kepada setiap materi diklat atau setiap rumpun materi pelajaran. Rumpun materi pelajaran dapat terdiri dari beberapa materi pelajaran, tetapi diharapkan maksimal ada 3 (tiga) pilihan rumpun materi pelajaran tersebut.
Dari pilihan tersebut dalam proses selanjutnya akan dilakukan sertifikasi, sehingga seorang Widyaiswara dengan jenjang jabatan apapun berhak mengajar dan diakui angka kreditnya sepanjang widyaiswara tersebut sudah memiliki sertifikat dari lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi.
Diharapkan dalam upaya pengembangan karir saat ini widyaiswara sudah mulai mempersiapkan mengajar rumpun materi pelajaran sesuai dengan spesialisasinya.
b.Adanya klausul pembebasan sementara dan pemberhentian dari jabatan widyaiswara.
Ketentuan tersebut saat ini masih diberlakukan, walaupun dinilai ketentuan ini sangat menimbulkan ketidakadilan dibandingkan dengan jabatan fungsional pendidik lainnya yaitu guru dan dosen. Widyaiswara dalam pengembangan kariernya menjadi tidak ada kepastian batas usia pensiun karena peraturan tersebut, walaupun di dalam Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1986 tentang Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil yang Menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian Pasal 1 ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa batas usia pensiun Widyaiswara Madya 60 tahun dan Widyaiswara Utama 65 tahun.
Oleh karena itu organisasi Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Pusat telah mengajukan tuntutan perubahan ke Mahkamah Agung, belum diperoleh informasi kapan pelaksanaan sidangnya.
c.Dasar penilaian dan waktu penyampaian Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) Widyaiswara.
DUPAK pada periode masa penilaian sebelum tahun 2010 dasar penentuan angka kreditnya masih berdasarkan peraturan Permenpan No. Per/66/M.Pan/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara Dan Angka Kreditnya; Per. Bersama Kepala Lan Dan Kepala BKN No. 7 Dan 17 Tahun 2005 Tentang Juklak Permenpan 66/2005.
Sehingga dapat disimpulkan DUPAK sebelum 2010 sepanjang belum pernah diajukan untuk dilakukan penilaian, walaupun pengajuannya pada tahun 2010 tetap akan dinilai dengan dasar Permenpan No. Per/66/M.Pan/6/2005. Sedangkan DUPAK yang berisi kegiatan-kegiatan Widyaiswara yang dilaksanakan pada tahun 2010 dan seterusnya baru akan dinilai berdasarkan PerMen. PAN No: 14 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya dan Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN No. 1Tahun 2010, No, 2 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.
3.Materi diklat prajabatan dan kepemimpinan akan dilakukan revisi atau perbaikan dari sisi kurukulum maupun mata pelajarannya, sehingga dalam pengembangan bahan ajar yang akan disampaikan kepada peserta diklat, Widyaiswara perlu memperluas wawasan, pengetahuan dari sisi formal maupun non formal.
4.Training of Trainer Substansi Materi Diklat Kepemimpinan dan Prajabatan pada tahun 2010 dan 2011 belum akan dilaksanakan. Hal ini dikarenakan menunggu hasil revisi kurikulum dan persiapan tenaga pengajar/widyaiswara yang akan membuat modul dan mensosialisasikan hasil revisi tersebut.
5.Formasi jenjang jabatan Widyaiswara Utama saat ini adalah 13 (tiga belas) orang, dan sudah terisi beberapa hasil seleksi dalam waktu dekat ini, belum diketahui secara pasti kondisi formasi saat ini, karena ada beberapa pertimbangan widyaiswara yang telah diterima berkeberatan karena diharuskan secara langsung menjadi Widyaiswara LAN dan berkantor secara di Jakarta.
6.Perumusan hasil kajian widyaiswara Badan Diklat Provinsi DIY sudah bagus, hanya dalam pelaksanaannya perlu didukung dengan kesiapan widyaiswara dalam pemahaman ilmu pada spesialisasinya tersebut secara komprehensif, karena saat ini sepertinya belum adanya sudut pandang yang sama terhadap pengelompokan spesialisasi kelompok widyaiswara tersebut. Selain itu LAN masih terus mengkaji spesialisasi seorang widyaiswara sampai proses pelaksanaan sertifikasi pada tahun 2014.
7.Dasar spesialisasi Widyaiswara di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi DIY saat ini adalah berdasarkan Surat Kepala LAN No. 151/Kep/X/2000 tanggal 24 Oktober 2000 perihal Pengangkatan dalam Jabatan Widyaiswara, dan Keputusan Gubernur DIY Nomor 140/Pem.D/UP/D.4 tanggal 15 Mei 2001 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Surat Keputusan Kepala Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: /KPTS/Diklat/2009 Tentang Penetapan Pengurus Kelompok dan Pembentukan Sub Kelompok Widyaiswara Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sub Kelompok Kajian Administrasi dan Manajemen Publik, dengan lingkup pengembangan:
a)Analisis Kebijakan Publik
b)Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI)
c)Dasar-dasar Administrasi Publik
d)Dasar-dasar Kepemerintahan yang Baik
e)Membangun Kepemerintahan yang Baik
f)Pemberdayaan SDM
g)Manajemen SDM, Keuangan, dan Materiil
h)Hukum Administrasi Negara
i)Kepemimpinan dalam Keragaman Budaya
j)Koordinasi dan Hubungan Kerja
k)Operasionalisasi Pelayanan Prima
l)Pelayanan Prima
m)Negosiasi, Kolaborasi dan Jejaring Kerja
n)Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
o)Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
p)Pola Kerja Terpadu
q)Teknik-teknik Analisis Manajemen
r)AKIP dan Pengukuran Kinerja
s)Teknologi Informasi dalam Pemerintahan
t)Telaahan Staf Paripurna
u)Manajemen Perkantoran Modern
v)Komunikasi yang Efektif
w)Teknik Komunikasi dan Presentasi yang Efektif
x)Pengelolaan Informasi dan Teknik Pelaporan
y)Manajemen Kepegawaian Negara
z)Percepatan Pemberantasan Korupsi
Sub Kelompok Kajian Pembangunan dan Pemerintahan, dengan lingkup pengembangan:
a)Konsep, Teori, dan Indikator Pembangunan
b)Konsep dan indikator Pembangunan
c)Teori dan Indikator Pembangunan
d)Otonomi dan Pembangunan Daerah
e)Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional
f)Muatan Teknis Subtantif Lembaga
g)Pembangunan Daerah, Sektor dan Nasional
h)Sistem Pengelolaan Pembangunan
i)Perencanaan Pembangunan
j)Analisis Kebijakan Publik
k)Kepemerintahan yang baik
l)Pemberdayaan kapasitas SDM
m)Lingkungan Hidup
n)Manajemen Kebencanaan
o)Kepemerintahan Daerah
p)Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka NKRI
8.Mengingat pengembangan karir dan kebijakan Widyaiswara saat ini banyak terjadi pemahaman-pemahaman yang salah dan perubahan-perubahan yang cepat, sehingga dalam upaya pengembangan karier Widyaiswara, diperlukan kegiatan menyelenggarakan diklat atau sosialisasi penyusunan angka kredit Widyaiswara, seminar, loka karya, atau semiloka.
Identifikasi masalah ini perlu diinventarisasi terus, agar senantiasa diupayakan solusi masalah dengan landasan keterbukaan, kepekaan, toleransi, dan kebersamaan.
Bagian dari upaya widyaiswara untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses manajemen sumberdaya alam, lingkungan, kebencanaan, dan sumberdaya manusia.
Minggu, 31 Oktober 2010
KURIKULUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR MANAJEMEN KEBENCANAAN
Latar Belakang
Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geologis terletak di antara 3 (tiga) buah lempeng tektonik dunia yaitu Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Hindia Australia, dan Lempeng Samudera Samudera Pasifik. Sepanjang garis pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudera tersebut pada bagian penunjaman terbentuk bidang gesekan yang mengakibatkan pembentukan sumber magma panas dari gunung-gunungapi di atasnya. Indonesia termasuk dalam rangkaian jalur gunungapi dunia tersebut atau the ring of fire. Sehingga dari kondisi geologis tersebut perlu mendapatkan perhatian serius bahwa Indonesia terletak di dalam daerah yang sangat rawan terjadi bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami, dan gunungapi.
Akibat kondisi geologis tersebut kekayaan alam Indonesia menjadi berlimpah ruah, seperti minyak bumi, gas alam, batubara, emas, perak, tembaga, nikel, besi, mangan, mineral radio aktif, serta mineral logam, mineral non logam, mineral ikutan dan lain-lainnya. Akan tetapi dengan terjadinya banyak permasalahan penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam tersebut ditambah dengan faktor-faktor jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib, keanekaragaman suku, agama, adat, budaya, golongan, pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat kompleks mengakibatkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi wilayah yang rawan konflik atau rawan terhadap bencana akibat ulah manusia atau bencana sosial, maupun bencana non alam.
Bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial, dapat menimbulkan dampak yang mengancam kehidupan manusia, baik berupa ancaman kematian, kehilangan harta benda, rusaknya kondisi lingkungan hidup, maupun dampak trauma psikologis. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya mitigasi bencana yang akan terjadi. Dalam skala yang lebih komprehensif akhirnya diperlukan manajemen kebencanaan yang secara berkelanjutan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi hal-hal yang perlu dilakukan dan diantisipasi dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana merupakan langkah prioritas yang perlu dilakukan setiap komponen dalam kepemerintahan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Pengembangan dan penyediaan sistem peringatan dini yang akurat (early warning system), diseminasi dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan, penanaman kesadaran masyarakat terhadap daerah rawan bencana, pembuatan peta-peta rawan bencana, penyediaan barak atau tempat penampungan, selimut, pakaian pantas pakai, dapur umur, tempat MCK (mandi, cuci, dan kakus) untuk mengantisipasi arus pengungsian mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar, serta dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Hal tersebut harus menjadikan bahan pemikiran utama Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera melakukan tindakan nyata dalam upaya penanggulangan bencana yang akan terjadi. Salah satu bentuk kegiatan yang penting adalah penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur di Pemerintah Daerah. Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi.
Diklat teknis ini dirancang sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman bencana, yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Desain dan kurikulum ini secara umum memuat dan mengarahkan berbagai teori dan praktik maupun pengalaman tentang penerapan pengelolaan kebencanaan di daerah, sehingga dapat diterapkan dalam tugas sehari-hari oleh para aparatur. Dengan demikian setelah peserta mengikuti diklat ini, rencana tindak yang menjadi program kerja para pejabat di daerah.
Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan mampu merencanakan dan membuat program serta rencana tindaknya yang dapat dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan hasil identifikasi berbagai faktor, aspek, tantangan, serta strategi tentang kebencanaan yang perlu ditempuh kearah terlaksananya kondisi kinerja yang lebih baik dalam melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya dalam rangka mengantisipasi terjadinya bencana.
Kompetensi diatas meliputi:
1.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kegiatan kerja di lingkungan instansinya dengan mempertimbangkan adanya kerawanan bencana yang ada di daerah.
2.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kerja di lingkungan instansinya dalam mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi.
3.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kerja untuk lingkungan instansinya berdasarkan rencana yang sudah disepakati dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan dalam melaksanakan semua kebijakan pemerintah daerah.
4.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan semua program pemerintah dalam aspek pengelolaan kebencanaan di daerahnya masing-masing sesuai kondisi dan potensi kebencanaan di daerahnya.
5.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan tahapan manajemen kebencanaan dengan pendekatan kegiatan yang terpadu antara pemerintah, swasta, dan masyarakat di daerahnya sehingga dapat tercapai kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
6.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan proses penyadaran dan antisipasinya sehingga dapat tersosialisasi di lingkungan pemerintah, swasta dan masyarakat akan kerawanan bencana di daerah.
Outcomes
Setelah mengikuti materi pendidikan dan pelatihan manajemen kebencanaan diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut.
1.Terjadi peningkatan kesadaran (awareness) aparatur akan penanggulangan bencana.
2.Terjadi peningkatan pengetahuan (knowledge) aparatur tentang penanggulangan bencana.
3.Terjadi perubahan sikap (attitude) aparatur terhadap ancaman dan kejadian bencana.
4.Terjadi peningkatan keterampilan (skill) aparatur dalam penanggulangan bencana.
5.Terjadi peningkatan kemampuan mengevaluasi (evaluative ability) terhadap program dan rencana tindak dalam penanggulangan bencana.
6.Terjadi peningkatan peranserta (participation) aparatur dalam penanggulangan bencana.
Gambar Alur Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Manajemen Kebencanaan (Sunarto, PSBA UGM, 2009)
Struktur Kurikulum
Secara umum struktur kurikulum diklat teknis manajemen kebencanaan ini memuat jenis materi pelatihan, sesi, serta jumlah jam pelajaran yang dibutuhkan bagi pelatihan untuk para aparatur Pemerintah Daerah.
Pada diklat ini disajikan sebanyak 11 materi pelatihan untuk digunakan dalam pelatihan peningkatan kapasitas para aparatur Pemerintah Daerah dalam manajemen kebencanaan di daerah. Secara substansial materi-materi ini dirancang untuk dapat digunakan oleh aparatur di berbagai tingkatan dengan waktu pembelajaran kurang lebih selama 6 hari kerja atau sekitar 48 jam pelajaran.
Dengan asumsi seperti tersebut di atas maka struktur kurikulum yang disarankan untuk diklat ini akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Secara umum materi pelatihan terdiri dari 11 materi yang merupakan bagian dalam pengembangan manajemen kebencanaan, materi pelatihan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Potensi dan Peta Kerawanan Bencana di Daerah.
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami potensi dan peta suatu daerah yang rawan akan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1) Potensi bencana yang akan terjadi di daerah.
2) Mengetahui jenis bencana dari peta kerawanan bencana di suatu wilayah.
2.Peraturan-peraturan Kebencanaan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan hal-hal yang berkaitan dengan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Sistematika peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya tentang kebencanaan di Indonesia.
2)Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009.
3)Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015 hasil Konferensi Sedunia Peredaman Bencana 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Japan.
3.Sistem Pendataan Kebencanaan Berbasis Sistem Informasi Geografis
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami sistem pendataan kebencanaan yang berbasis sistem informasi geografis.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami proses pendataan yang akurat dengan teknologi informasi Sistem Informasi Geografis di dalam:
1)Proses pendataan yang berupa data kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, prasarana, dan sarana sebelum terjadi bencana.
2)Proses pendataan kerusakan yang meliputi cakupan lokasi, data jumlah korban bencana, jumlah dan tingkat kerusakan prasarana dan sarana akibat bencana, dan perkiraan kerugian
3)Proses Pendataan jumlah gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan
4.Pemberdayaan Masyarakat, Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan, dan Dunia Usaha dalam Pengelolaan Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami konsep dan aplikasi pemberdayaan masyarakat, lembaga/organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Budaya dan bentuk kearifan lokal masyarakat dalam penanggulangan bencana.
2)Proses pendekatan masyarakat dalam setiap kegiatan manajemen kebencanaan yang memperhatikan kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya lokal.
3)Cara meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, lembaga/organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha dalam pengelolaan bencana.
5.Tanggap Darurat Bereaksi Cepat.
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami tindakan-tindakan kegawatdaruratan dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Lingkup kegiatan dalam tanggap darurat yaitu: Sistem peringatan dini, pengungsian, SAR (Search and Rescue), pertolongan darurat, logistik dan penyediaannya, komunikasi dan pengelolaan informasi, pendampingan dan pelingkupan, keamanan, dan pengelolaan operasi kedaruratan.
2)Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya.
3)Penentuan status keadaan darurat bencana.
4)Proses penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
5)Pemenuhan kebutuhan dasar;
6.Rehabilitasi Fisik, Sosial, dan Psikis akibat Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses rehabilitasi fisik, sosial, dan psikis pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
2)Perencanaan kegiatan untuk mendukung proses rehabilitasi pascabencana.
7.Rekonstruksi Pascabencana Menuju Pembangunan Berkelanjutan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses rekonstruksi pascabencana yang berkelanjutan dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Perencanaan dan proses rekonstruksi pada wilayah pascabencana dilakukan.
2)Kegiatan-kegiatan rekonstruksi melalui kegiatan pembangunan kembali prasarana dan sarana; pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat
8.Mitigasi Menuju Sadar Kebencanaan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses mitigasi menuju sadar kebencanaan.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
2)Konsekuensi pelaksanaan penataan ruang.
3)Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
9.Kesiapsiagaan di Daerah Rawan Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami pentingnya kesiapsiagaan di daerah rawan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Kesiapsiagaan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
2)Perencanaan dan kegiatan-kegiatan dalam kesiapsiagaan yaitu: penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi evakuasi; penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
10.Penyusunan Rencana Tindak Manajemen Kebencanaan.
a. Tujuan instruksional umum
Peserta dapat membuat rencana tindak manajemen kebencanaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansinya.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses penyusunan rencana tindak lanjut yang mendukung manajemen kebencanaan.
2)Menerapkan hasil rencana tindak lanjut ke dalam perencanaan kegiatan pembangunan di instansinya.
11.Survei dan Simulasi Kebencanaan.
a. Tujuan instruksional umum
Peserta dapat menerapan konsep dan teori manajemen kebencanaan dalam praktek survei dan simulasi kebencanaan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses penerapan search and rescue di lapangan.
2)Proses reaksi cepat dalam kegawatdaruratan.
3)Simulasi tahapan-tahapan dalam manajemen kebencanaan.
Penutup
Pendidikan dan pelatihan aparatur manajemen kebencanaan merupakan langkah awal terencana dan aplikatif, dalam upaya meningkatkan daya responsivitas aparatur pemerintah. Perencanaan tindakan dalam bentuk program dan kegiatan dalam pembangunan sangat perlu memperhatikan aspek-aspek kebencanaan. Dengan perencanaan pembangunan yang reponsif kebencanaan akan memberikan dukungan dan penjagaan keselamatan masyarakat. Pada akhirnya yang paling penting diharapkan dari pelatihan ini adalah action atau penerapan dari tiap esensi muatan kurikulum di lapangan, sehingga dapat menciptakan suasana aman tetapi waspada, dan tidak panik bagi seluruh kalangan lapisan masyarakat ketika bencana menimpa.
Desain kurikulum ini merupakan salah satu panduan dalam penyelenggarakan diklat, sehingga apabila dipandang perlu harus diadakan penyempurnaan secara berkala sesuai dengan perkembangan, kebutuhan, dan upaya-upaya strategis, kreatif, inovatif, dan antisipatif. Dalam rangka mengatasi dan mengantisipasi bencana-bencana yang pasti akan terjadi di Indonesia yang sangat rawan akan bencana. Menuju ke arah manajemen bencana yang mendekati negara-negara maju dan modern seperti Jepang dan Amerika yang posisinya sama kerawanan bencananya dengan Indonesia.
Membangun jejaring atau networking dengan dunia internasional dalam manajemen kebencanaan akan membuat Pemerintah baik Pusat maupun Daerah mempunyai standarisasi pengelolaan bencana yang bertaraf global. Penerapan standar tinggi pengelolaan bencana merupakan suatu keharusan baik ditinjau dari sisi kompetensi sumberdaya manusia dan organisasi pengelola kebencanaan, maupun pada setiap kegiatan-kegiatan dan prosedural dalam tahapan kegawatdaruratan, rehabilitasi, rekonstruksi, migasi, dan kesiapsiagaan.
Referensi
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739.
ADPC Primer Team. 2005. Disaster Risk Management in Asia. ADPC. Bangkok.
Carter, W.N. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. ADB. Manila.
Kuroiwa, J. 2004. Disaster Reduction: Living in Harmony with Nature. Quebecor World Peru. Lima.
Nott, J. 2006. Extreme Events: A Physical Reconstruction and Risk Assessment. Cambridge Univ. Press. Cambridge.
Oya, M., 2001, Applied Geomorphology for Mitigation of Natural Hazards, Kluwer Academic Publ., Dordrecht.
Smith, K., 1996, Environment Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, Routledge, London.
Sustainable Capacity Building for Decentralization Project (SCB-DP), ADB Loan No. 1964-INO. Desember 2007. Pedoman Umum Diklat Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Daerah (Environtmental Assesment and Management). Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geologis terletak di antara 3 (tiga) buah lempeng tektonik dunia yaitu Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Hindia Australia, dan Lempeng Samudera Samudera Pasifik. Sepanjang garis pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudera tersebut pada bagian penunjaman terbentuk bidang gesekan yang mengakibatkan pembentukan sumber magma panas dari gunung-gunungapi di atasnya. Indonesia termasuk dalam rangkaian jalur gunungapi dunia tersebut atau the ring of fire. Sehingga dari kondisi geologis tersebut perlu mendapatkan perhatian serius bahwa Indonesia terletak di dalam daerah yang sangat rawan terjadi bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami, dan gunungapi.
Akibat kondisi geologis tersebut kekayaan alam Indonesia menjadi berlimpah ruah, seperti minyak bumi, gas alam, batubara, emas, perak, tembaga, nikel, besi, mangan, mineral radio aktif, serta mineral logam, mineral non logam, mineral ikutan dan lain-lainnya. Akan tetapi dengan terjadinya banyak permasalahan penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam tersebut ditambah dengan faktor-faktor jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib, keanekaragaman suku, agama, adat, budaya, golongan, pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat kompleks mengakibatkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi wilayah yang rawan konflik atau rawan terhadap bencana akibat ulah manusia atau bencana sosial, maupun bencana non alam.
Bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial, dapat menimbulkan dampak yang mengancam kehidupan manusia, baik berupa ancaman kematian, kehilangan harta benda, rusaknya kondisi lingkungan hidup, maupun dampak trauma psikologis. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya mitigasi bencana yang akan terjadi. Dalam skala yang lebih komprehensif akhirnya diperlukan manajemen kebencanaan yang secara berkelanjutan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi hal-hal yang perlu dilakukan dan diantisipasi dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana merupakan langkah prioritas yang perlu dilakukan setiap komponen dalam kepemerintahan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Pengembangan dan penyediaan sistem peringatan dini yang akurat (early warning system), diseminasi dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan, penanaman kesadaran masyarakat terhadap daerah rawan bencana, pembuatan peta-peta rawan bencana, penyediaan barak atau tempat penampungan, selimut, pakaian pantas pakai, dapur umur, tempat MCK (mandi, cuci, dan kakus) untuk mengantisipasi arus pengungsian mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar, serta dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Hal tersebut harus menjadikan bahan pemikiran utama Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera melakukan tindakan nyata dalam upaya penanggulangan bencana yang akan terjadi. Salah satu bentuk kegiatan yang penting adalah penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur di Pemerintah Daerah. Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi.
Diklat teknis ini dirancang sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman bencana, yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Desain dan kurikulum ini secara umum memuat dan mengarahkan berbagai teori dan praktik maupun pengalaman tentang penerapan pengelolaan kebencanaan di daerah, sehingga dapat diterapkan dalam tugas sehari-hari oleh para aparatur. Dengan demikian setelah peserta mengikuti diklat ini, rencana tindak yang menjadi program kerja para pejabat di daerah.
Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan mampu merencanakan dan membuat program serta rencana tindaknya yang dapat dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berdasarkan hasil identifikasi berbagai faktor, aspek, tantangan, serta strategi tentang kebencanaan yang perlu ditempuh kearah terlaksananya kondisi kinerja yang lebih baik dalam melaksanakan kewajiban dan tugas-tugasnya dalam rangka mengantisipasi terjadinya bencana.
Kompetensi diatas meliputi:
1.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kegiatan kerja di lingkungan instansinya dengan mempertimbangkan adanya kerawanan bencana yang ada di daerah.
2.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kerja di lingkungan instansinya dalam mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi.
3.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan kerja untuk lingkungan instansinya berdasarkan rencana yang sudah disepakati dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan dalam melaksanakan semua kebijakan pemerintah daerah.
4.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan semua program pemerintah dalam aspek pengelolaan kebencanaan di daerahnya masing-masing sesuai kondisi dan potensi kebencanaan di daerahnya.
5.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan tahapan manajemen kebencanaan dengan pendekatan kegiatan yang terpadu antara pemerintah, swasta, dan masyarakat di daerahnya sehingga dapat tercapai kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
6.Kemampuan dalam menguasai pelaksanaan proses penyadaran dan antisipasinya sehingga dapat tersosialisasi di lingkungan pemerintah, swasta dan masyarakat akan kerawanan bencana di daerah.
Outcomes
Setelah mengikuti materi pendidikan dan pelatihan manajemen kebencanaan diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut.
1.Terjadi peningkatan kesadaran (awareness) aparatur akan penanggulangan bencana.
2.Terjadi peningkatan pengetahuan (knowledge) aparatur tentang penanggulangan bencana.
3.Terjadi perubahan sikap (attitude) aparatur terhadap ancaman dan kejadian bencana.
4.Terjadi peningkatan keterampilan (skill) aparatur dalam penanggulangan bencana.
5.Terjadi peningkatan kemampuan mengevaluasi (evaluative ability) terhadap program dan rencana tindak dalam penanggulangan bencana.
6.Terjadi peningkatan peranserta (participation) aparatur dalam penanggulangan bencana.
Gambar Alur Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Manajemen Kebencanaan (Sunarto, PSBA UGM, 2009)
Struktur Kurikulum
Secara umum struktur kurikulum diklat teknis manajemen kebencanaan ini memuat jenis materi pelatihan, sesi, serta jumlah jam pelajaran yang dibutuhkan bagi pelatihan untuk para aparatur Pemerintah Daerah.
Pada diklat ini disajikan sebanyak 11 materi pelatihan untuk digunakan dalam pelatihan peningkatan kapasitas para aparatur Pemerintah Daerah dalam manajemen kebencanaan di daerah. Secara substansial materi-materi ini dirancang untuk dapat digunakan oleh aparatur di berbagai tingkatan dengan waktu pembelajaran kurang lebih selama 6 hari kerja atau sekitar 48 jam pelajaran.
Dengan asumsi seperti tersebut di atas maka struktur kurikulum yang disarankan untuk diklat ini akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Secara umum materi pelatihan terdiri dari 11 materi yang merupakan bagian dalam pengembangan manajemen kebencanaan, materi pelatihan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Potensi dan Peta Kerawanan Bencana di Daerah.
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami potensi dan peta suatu daerah yang rawan akan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1) Potensi bencana yang akan terjadi di daerah.
2) Mengetahui jenis bencana dari peta kerawanan bencana di suatu wilayah.
2.Peraturan-peraturan Kebencanaan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan hal-hal yang berkaitan dengan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Sistematika peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya tentang kebencanaan di Indonesia.
2)Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009.
3)Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015 hasil Konferensi Sedunia Peredaman Bencana 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Japan.
3.Sistem Pendataan Kebencanaan Berbasis Sistem Informasi Geografis
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami sistem pendataan kebencanaan yang berbasis sistem informasi geografis.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami proses pendataan yang akurat dengan teknologi informasi Sistem Informasi Geografis di dalam:
1)Proses pendataan yang berupa data kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, prasarana, dan sarana sebelum terjadi bencana.
2)Proses pendataan kerusakan yang meliputi cakupan lokasi, data jumlah korban bencana, jumlah dan tingkat kerusakan prasarana dan sarana akibat bencana, dan perkiraan kerugian
3)Proses Pendataan jumlah gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan
4.Pemberdayaan Masyarakat, Lembaga/Organisasi Kemasyarakatan, dan Dunia Usaha dalam Pengelolaan Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami konsep dan aplikasi pemberdayaan masyarakat, lembaga/organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Budaya dan bentuk kearifan lokal masyarakat dalam penanggulangan bencana.
2)Proses pendekatan masyarakat dalam setiap kegiatan manajemen kebencanaan yang memperhatikan kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya lokal.
3)Cara meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, lembaga/organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha dalam pengelolaan bencana.
5.Tanggap Darurat Bereaksi Cepat.
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami tindakan-tindakan kegawatdaruratan dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Lingkup kegiatan dalam tanggap darurat yaitu: Sistem peringatan dini, pengungsian, SAR (Search and Rescue), pertolongan darurat, logistik dan penyediaannya, komunikasi dan pengelolaan informasi, pendampingan dan pelingkupan, keamanan, dan pengelolaan operasi kedaruratan.
2)Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya.
3)Penentuan status keadaan darurat bencana.
4)Proses penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
5)Pemenuhan kebutuhan dasar;
6.Rehabilitasi Fisik, Sosial, dan Psikis akibat Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses rehabilitasi fisik, sosial, dan psikis pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
2)Perencanaan kegiatan untuk mendukung proses rehabilitasi pascabencana.
7.Rekonstruksi Pascabencana Menuju Pembangunan Berkelanjutan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses rekonstruksi pascabencana yang berkelanjutan dalam pengelolaan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Perencanaan dan proses rekonstruksi pada wilayah pascabencana dilakukan.
2)Kegiatan-kegiatan rekonstruksi melalui kegiatan pembangunan kembali prasarana dan sarana; pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; peningkatan fungsi pelayanan publik; dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat
8.Mitigasi Menuju Sadar Kebencanaan
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami proses mitigasi menuju sadar kebencanaan.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
2)Konsekuensi pelaksanaan penataan ruang.
3)Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
9.Kesiapsiagaan di Daerah Rawan Bencana
a.Tujuan instruksional umum
Peserta memahami pentingnya kesiapsiagaan di daerah rawan bencana.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Kesiapsiagaan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
2)Perencanaan dan kegiatan-kegiatan dalam kesiapsiagaan yaitu: penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi evakuasi; penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
10.Penyusunan Rencana Tindak Manajemen Kebencanaan.
a. Tujuan instruksional umum
Peserta dapat membuat rencana tindak manajemen kebencanaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansinya.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses penyusunan rencana tindak lanjut yang mendukung manajemen kebencanaan.
2)Menerapkan hasil rencana tindak lanjut ke dalam perencanaan kegiatan pembangunan di instansinya.
11.Survei dan Simulasi Kebencanaan.
a. Tujuan instruksional umum
Peserta dapat menerapan konsep dan teori manajemen kebencanaan dalam praktek survei dan simulasi kebencanaan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada.
b.Tujuan instruksional khusus
Peserta memahami:
1)Proses penerapan search and rescue di lapangan.
2)Proses reaksi cepat dalam kegawatdaruratan.
3)Simulasi tahapan-tahapan dalam manajemen kebencanaan.
Penutup
Pendidikan dan pelatihan aparatur manajemen kebencanaan merupakan langkah awal terencana dan aplikatif, dalam upaya meningkatkan daya responsivitas aparatur pemerintah. Perencanaan tindakan dalam bentuk program dan kegiatan dalam pembangunan sangat perlu memperhatikan aspek-aspek kebencanaan. Dengan perencanaan pembangunan yang reponsif kebencanaan akan memberikan dukungan dan penjagaan keselamatan masyarakat. Pada akhirnya yang paling penting diharapkan dari pelatihan ini adalah action atau penerapan dari tiap esensi muatan kurikulum di lapangan, sehingga dapat menciptakan suasana aman tetapi waspada, dan tidak panik bagi seluruh kalangan lapisan masyarakat ketika bencana menimpa.
Desain kurikulum ini merupakan salah satu panduan dalam penyelenggarakan diklat, sehingga apabila dipandang perlu harus diadakan penyempurnaan secara berkala sesuai dengan perkembangan, kebutuhan, dan upaya-upaya strategis, kreatif, inovatif, dan antisipatif. Dalam rangka mengatasi dan mengantisipasi bencana-bencana yang pasti akan terjadi di Indonesia yang sangat rawan akan bencana. Menuju ke arah manajemen bencana yang mendekati negara-negara maju dan modern seperti Jepang dan Amerika yang posisinya sama kerawanan bencananya dengan Indonesia.
Membangun jejaring atau networking dengan dunia internasional dalam manajemen kebencanaan akan membuat Pemerintah baik Pusat maupun Daerah mempunyai standarisasi pengelolaan bencana yang bertaraf global. Penerapan standar tinggi pengelolaan bencana merupakan suatu keharusan baik ditinjau dari sisi kompetensi sumberdaya manusia dan organisasi pengelola kebencanaan, maupun pada setiap kegiatan-kegiatan dan prosedural dalam tahapan kegawatdaruratan, rehabilitasi, rekonstruksi, migasi, dan kesiapsiagaan.
Referensi
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739.
ADPC Primer Team. 2005. Disaster Risk Management in Asia. ADPC. Bangkok.
Carter, W.N. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. ADB. Manila.
Kuroiwa, J. 2004. Disaster Reduction: Living in Harmony with Nature. Quebecor World Peru. Lima.
Nott, J. 2006. Extreme Events: A Physical Reconstruction and Risk Assessment. Cambridge Univ. Press. Cambridge.
Oya, M., 2001, Applied Geomorphology for Mitigation of Natural Hazards, Kluwer Academic Publ., Dordrecht.
Smith, K., 1996, Environment Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, Routledge, London.
Sustainable Capacity Building for Decentralization Project (SCB-DP), ADB Loan No. 1964-INO. Desember 2007. Pedoman Umum Diklat Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Daerah (Environtmental Assesment and Management). Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)