Awal Desember 2008 saat Musim Dingin ada suatu pengalaman yang menarik pada waktu penulis mengikuti diklat di Jepang, yaitu tentang pembuatan kue mochi di Pulau Ikeshima, Nagasaki, Jepang. Di tengah majunya peradaban modern Bangsa Jepang, ternyata masih ada tradisi kerjasama yang sangat kuat antarpenduduk di daerah tersebut, yaitu pembuatan kue mochi atau kalau di Indonesia seperti kue ketan tapi sudah ditumbuk dengan halus, atau orang jawa mengenal dengan kue “jadah”. Kue tersebut bisa dibuat manis atau tanpa rasa. Untuk kue mochi yang tanpa rasa biasanya dimakan dengan sup, setelah kue tersebut dibuat bulatan lonjong kecil-kecil. Mochi yang dimaksud di sini, merupakan mochi polos tanpa bumbu garam atau lainnya, dan dimakan (sebagai pengganti nasi) bersama sayur yang biasa disebut zouni. Jadi mirip ketupat tetapi dari ketan kalau di tempat kita. Kanji zouni sendiri berarti "rebusan campur-campur". Menurut Wikipedia, zouni dulunya merupakan hidangan kaum samurai (prajurit) terutama saat pergi berperang. Mochi digunakan karena ia merupakan penganan yang awet. Kalau yang manis pada waktu pembuatannya dibuat dengan cara mencampurkan ubi ketela manis (di jawa dikenal dengan nama ketela pendam).
Seluruh masyarakat yang ada di sekitar daerah ini terlibat, membuat bersama kue mochi ini. Mulai dari anak sekolah, guru-guru, kaum muda, dan tua terlibat bersama bergotong royong menyambut datangnya musim dingin. Mereka berpartisipasi dalam acara mochitsuki taikai. Mochitsuki taikai mempunyai pengertian "menumbuk mochi". Acara mochitsuki taikai ini merupakan tradisi yang biasa dilakukan dalam menyambut tahun baru. Hal ini juga karena mochi biasa dihidangkan pada tahun baru.
Awal acara dimulai dengan memasak ketan terlebih dahulu, sambil menunggu ketan selesai dimasak, anak-anak SD, orang tua murid, warga setempat, dan peserta diklat (kenshusei) melaksanakan kampanye kebersihan (clean campaign), yaitu acara bersih-bersih lingkungan. Peserta clean campaign diminta pergi berkeliling di sekitar lokasi apartemen, permukiman umum, perkantoran, dan areal sekolah mengumpulkan sampah yang berceceran di lingkungan sekitar. Ada sampah plastik, daun-daun kering, kaleng, botol plastik, dan sampah lainnya. Sampah-sampah ini dikumpulkan, dipilah-pilah menurut jenisnya, baru dimasukkan ke tempat kotak sampah. Ada enam kotak sampah yang masing-masing ada tulisan khusus sampah apa yang boleh dimasukkan ke dalamnya, yaitu sampah plastik, botol plastik, botol kaca, kaleng, sampah tidak terbakar, dan sampah terbakar. Setelah sampah penuh akan dibuang oleh petugas kebersihan pada setiap hari Senin. Setelah lingkungan terlihat bersih dan rapi, kemudian baru dilanjutkan acara utama yaitu menumbuk mochi dimulai.
Tradisi budaya ini menunjukkan ternyata masih ada kebersamaan yang tercermin dalam semangat kegotongroyongan yang tinggi. Tahap awal persiapan yaitu menyediakan tungku pemasak yang bahan bakarnya ternyata masih memanfaatkan potongan-potongan kayu kering yang tersimpan secara rapi dan teratur. Tiga buah tungku dipersiapkan untuk acara ini satu tungku untuk memasak air, dua tungku yang lain untuk merebus beras ketan. Beras ketan yang dimasak tersusun rapi dari bawah ke atas dengan alas masing-pasing memakai rangkaian kayu yang berbentuk segi empat, tersusun sampai 4 lapis. Ada keran semprotan air bersih, ember untuk mencuci dilengkapi gayung dari plastik.
Mereka kemudian memukul ketan dengan 3 buah pemukul dari kayu secara bersama ke arah semacam lumpang. Berganti-gantian mereka mengarahkan ke lumpang yang ada ketannya tersebut, kadang-kadang apabila belum terbiasa palu pemukulnya saling berbenturan atau pinggir lubangnya yang terkena. Sehingga menimbulkan suasana yang meriah dan membuat pemukul harus lebih perhatian dan hati-hati mengarahkan pemukulnya. Suasana semangat dan kemeriahan saat menumbuk mochi seakan menghilangkan rasa dingin yang mereka rasakan pada saat itu, sehingga secara tidak langsung belajar adaptasi terhadap perubahan cuaca dari musim gugur ke musim dingin.
Setelah acara penumbukan mochi selesai dilanjutkan dengan makan bersama di aula kantor setingkat kalurahan kalau di Indonesia. Acara makan bersama ini dilakukan dengan penuh keakraban dan dapat menghilangkan rasa sungkan dan jarak dalam berkomunikasi. Setelah semuanya selesai acara diakhiri dengan ucapan terima kasih dari perwakilan pemimpin warga setempat atas partisipasi dari semua orang yang hadir disitu, dan khusus anak-anak diberikan cendera mata bantuan dari Pemerintah Jepang setempat. Dan yang hadir lainnya masing-masing diberikan juga mochi serta buah jeruk untuk dapat dinikmati di rumahnya masing-masing.
ya ampun, pak.... anda diklat khusus untuk membuat kue mochi jauh banget.... wah, memang semangat belajar yang sangat tinggi (qkqkqk... maaf, komen ga serius...)
BalasHapuspenerapan untuk bikin game baru kue moci, pak ???
iya pinginnya bikin jadah... dikompetisikan, kelompok mana yang tercepat menumbuk ketan sampai jadahnya siap dimakan...
BalasHapus